Mohon tunggu...
Sofia Amalia
Sofia Amalia Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Guru PAUD

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Halo Effect: Kesalahan Menilai Karakter di Awal Pertemuan

20 Mei 2021   08:43 Diperbarui: 21 Mei 2021   09:04 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi dari film "Hidden Figures"-Sumber: The Times

Untuk yang belum memahami apa itu sterotipe, ini merupakaan kepercayaan tetap, yang digeneralisirkan terhadap kelompok atau hal terntentu. Ketika seorang komandan mengevaluasi para prajuritnya, tanpa ia sadari bahwa iya peryaca prajurit yang memiliki fisik yang bagus juga memiliki kecakapan dalam kepemimpinan dan loyalitas.

Hal ini juga berlaku pada orang yang percaya bahwa mereka yang tatoan, bajunya sobek-sobek, jeans dengkulnya bolong dan yang ngomongnya ceplas-ceplos dianggap "selalu" memiliki kepribadian atau karekter yang buruk.

Begitupun juga dengan selebriti yang pakaiannya sopan dan sering berbagi atau semacam give away, akan dianggap baik. Atau tante saya yang menganggap teman saya adalah orang yang baik ketika baru pertama kali bertemu.

Semua ini kembali lagi ke prinsip "Semua yang dianggap indah berarti baik". Satu hal  yang menurut mereka "baik", maka dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya menjadi baik.

Padahal, tampilan fisik yang menarik tidak menjamin karakter yang baik, begitupun orang yang tatoan bukan berarti mereka buruk. Apalagi selebriti, terkadang kita tidak bisa membedakan kehidupan di depan dan di belakang layar, apa yang dilihat baik akan dianggap selalu baik. Teman saya, Sari, sama seperti saya dan teman-teman lainnya, namun tante saya terlalu terkesan dengan pertemuan pertama.

Kesimpulannya stereotype hanyalah kepercayaan yang tidak mendasar atau mungkin hanya berdasarkan "Katanya" saja.

Rasisme sebenarnya merupakan kelanjutan dari stereotype, tentunya sama-sama dapat menimbulkan halo effect. Dari sebuah kisah nyata yang difilmkan dengan judul "Hidden Figures" tentang tiga orang wanita kulit hitam amerika yang memperjuangkan karir mereka di NASA, Badan Antariksa Nasional milik Amerika Serikat.

Ilustrasi Film Hidden Figures. Sumber: CNN Indonesia
Ilustrasi Film Hidden Figures. Sumber: CNN Indonesia
Pada saat itu, tahun 1960-an, bahkan mungkin hingga saat ini, rasisme terhadap warga Afrika-Amerika terus terjadi dimana-mana. Hal tersebut sangat mempengaruhi Katherine Johnson, Dorothy Vaughan, Mary Jackson dan wanita kulit hitam lainnya yang bekerja di NASA. Apalagi disaat itu, hampir seluruh posisi dan tugas penting di NASA dipegang oleh pria, sedangkan wanita hanya membantu administrasi dan hal-hal lain ketika dibutuhkan.

Ketika pelaksanaan proyek mercury pada tahun 1963, bagian komputasi membutuhkan seorang matematikawan untuk menghitung lintasan penerbangan dikarenakan para matematikawan (yang semuanya laki-laki dan kulit putih) belum menemukan hitungan yang tepat untuk lintasan penerbangan. Seseorang merekomendasikan Katherine Johnson. Katherine menghitung semuanya dengan baik dan tepat, walau sebelumnya dikucilkan oleh hampir semua orang di bagian komputasi utama. Tanpa Katherine, mungkin Amerika akan gagal dalam orbit pertamannya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Dorothy Vaughan dan Mary Jackson, mereka selalu diremehkan. Namun mereka terus bekerja keras, Dorothy Vaughan menjadi salah satu supervisor wanita di NASA, yang mana pada saat itu supervisor wanita sangatlah tabu, ia juga menjadi programer di NASA. Sedangkan Mary Jackson, karena kemampuan hebat yang ia miliki, ia melanjutkan pelatihannya dan dipromosikan menjadi insinyur di NASA.

Ketiga wanita tadi sebelumnya dikucilkan di bagian komputasi barat (tempat komputasi kulit hitam), dimana mereka hanya akan dipanggil ketika dibutuhkan. Padahal mereka memiliki kompetensi yang baik dalam bidangnya. Untuk lebih mengetahui ceritanya, mungkin pembaca sekalian bisa menonton langsung film "Hidden Figures"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun