Mohon tunggu...
Sofia Amalia
Sofia Amalia Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Guru PAUD

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Ruang Kelas, Memperlambat Kreativitas

29 September 2020   19:01 Diperbarui: 30 September 2020   18:10 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Creativity and knowledge are not opposed to each other, even though an over emphasis on current knowledge can sometimes smother creativity.

Kreativitas dan pengetahuan bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Meskipun perhatian yang berlebihan terhadap pengetahuan saat ini, terkadang malah memperhambat kreativitas.

Margaret A. Boden - Creativity and Knowledge

Sepulang sekolah, gadis kecil tampak murung sambil membawa lembar jawaban ujian. Panggil saja dia Nanda, yang sedang sedih karena mendapatkan nilai nol di lembar jawabannya.

Ibu : Loh tadi di sekolah kenapa, Nak, kok wajahnya kelihatan sedih?

Nanda : ini, Bu..(sambil menyodorkan lembar jawaban)

Ibu : Ndak apa-apa, Nak, kan masih ada kesempatan lain waktu

Nanda : iya, Bu, tapi Nanda kan udah berusaha jawab, malah dapat nol. 

Jika itu terjadi pada saya, 3 tahun yang lalu, mungkin akan mengatakan: ya wajar saja dapat nol, toh emang jawabannya gak sesuai “kunci jawaban”.

Hal ini menggambarkan betapa saya, 3 tahun yang lalu, sangat terpaku dengan aturan-aturan belajar di sekolah, sehingga tidak pernah terpikir, untuk menjawab menggunakan sudut pandang lainnya, yang tentunya logis, walaupun tidak akan diterima berdasarkan kunci jawaban.

Kunci jawaban yang diciptakan, tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk berpikir secara berbeda. Harus sesuai, jika berbeda, maka Anda akan salah.


Saya tertarik dengan presentasi yang dibawakan oleh Teo Haren salah seorang dosen dan penulis yang sangat menggandrungi bidang kreativitas dan kecerdasan. Dalam presentasinya, ia ingin melihat bagaimana cara audiensnya berpikir kreatif dengan memberikan sebuah soal.

1 – 2 – 3 – ?  

a) 4
b) 5
c) 8

Satu, dua, tiga, apa angka selanjutnya?

Angkat tangan Anda jika sudah menemukan jawabannya

Ketika Teo Haren selaku pembicara memberikan intruksi mengangkat tangan, sebagian besar audiens mengangkat tangan mereka. Padahal rentang waktu saat soal ditampilkan ke layar dan instruksi angkat tangan sangatlah singkat, sekitar kurang lebih lima detik. Akan tetapi, sebagian besar audiens sudah menjawab soal tersebut dengan waktu yang begitu singkat.

Bahkan Haren menyimpulkan bahwa, sebagian besar audiens sudah menemukan jawabannya dalam waktu tiga detik, sebelum mengangkat tangan dan mengatakan bahwa mereka telah selesai (menemukan jawaban).

Tentu, jika Anda hanya memikirkan jawaban dari suatu masalah dengan waktu tiga detik, Anda tidak akan mendapatkan banyak jawaban kreatif yang berbeda...

...Saya telah belajar, bahwa orang yang mengangkat tangan (menemukan jawaban) hanya dengan waktu tiga detik, mereka hanya akan memiliki satu jawaban. Dan sebagian besar jawabannya adalah empat.

Haren menjelaskan, empat memang merupakan jawaban yang benar. Tetapi itu bukanlah satu-satunya jawaban yang logis. Ia malah mengatakan bahwa empat bukanlah jawaban yang kreatif.

Jika dalam tiga detik kita tidak terburu-buru mengangkat tangan dan berhenti berpikir karena hanya mendapatkan satu jawaban, masih ada waktu untuk kita memikirkan jawaban lainnya.

Jawaban (lainnya) yang pertama adalah...lima

Karena logikanya di sini tentu saja susunan angka tersebut merupakan susunan bilangan prima

Kemudian jawaban paling favorite saya adalah delapan, karena angka ini jika diputar sembilan puluh derajat akan membentuk lambang tak hingga atau infinity (sehingga angka setelah tiga memang tidak terhingga, empat dan seterusnya)

Kembali ke cerita gadis kecil bernama Nanda yang saya ceritakan di awal tulisan ini. “Jika” soal yang dikerjakan Nanda sama dengan soal yang diberikan Haren kepada audiensnya, kunci jawabannya adalah empat, sedangkan Nanda menjawab lima. Bagaimana pandangan kalian mengenai hal ini?

Saya rasa pembaca mungkin pernah mendengar hal-hal semacam ini. Bahkan saya juga pernah melihat beberapa influencer yang mengkritik mengenai hal ini di sosial media mereka, sambil menunjukan lembar jawaban siswa yang bernasib sama dengan lembar jawaban Nanda.

Kira-kira seperti itulah ruang kelas (sekolah) menghambat potensi cara berpikir kreatif pada anak. Hal ini tidak saya simpulkan berdasarkan opini saya sendiri, merujuk kepada tulisan yang berjudul Creativity and Knowledge oleh Margaret A. Boden seorang profesor dari Universitas Sussex:

It is easy enough to say what will smother creativity in the classroom: three things, above all. 

First, an unbending insistence on the 'right' answer, and/or on the 'right' way of finding it;

second, an unwillingness (or inability) to analyse the 'wrong' answer to see whether it might have some merit, perhaps in somewhat different circumstances (think of the 'failed' glue recipe that led to Post-it Notes); 

and third, an expression of impatience, or (worse still) contempt, for the person who came up with the unexpected answer.

Cukup mudah untuk mengatakan apa yang akan menghambat kreativitas di dalam kelas: tiga hal di atas segalanya.

Pertama, desakan teguh pada jawaban yang 'benar', dan / atau cara yang 'benar' untuk menemukannya; 

kedua, keengganan (atau ketidakmampuan) untuk menganalisis jawaban yang 'salah' untuk melihat apakah mungkin ada manfaatnya, mungkin dalam keadaan yang agak berbeda (pikirkan resep lem yang 'gagal' yang mengarah ke Post-it Notes); 

dan ketiga, ekspresi ketidaksabaran, atau (lebih buruk lagi) penghinaan, bagi orang yang memberikan jawaban yang tidak terduga.

Berpikir divergen (kreatif) membuat kita mampu memecahkan masalah dengan cara yang berbeda, dan bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Hasil dari berpikir kreatif seperti dalam penemuan-penemuan terbaru menjadi sebuah kebanggan sendiri apalagi diterima dan diapresiasi oleh masyarakat.

Namun, terkadang tidak semuanya dapat diterima oleh masyarakat, karena menurut mereka tidak sesuai dengan aturan, konsep, atau fakta yang ada. Atau mereka yang terlalu terpaku dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga tidak menemukan hal yang baru.

Lalu bagaimana cara agar kita mampu berpikir kreatif?

Setelah saya menyimak video presentasi Teo Haren dan berusaha memahami tulisan Prof. Margaret A. Boden, saya akan mencoba menyimpulkannya secara singkat.

Menurut Teo Haren, pikiran yang kreatif akan lahir dari perpaduan dua hal yang ia analogikan seperti tarian. Dua hal tersebut ialah, pertama: input (masukan) atau hasil diskusi dengan orang lain yang menghasilkan pandangan-pandangan baru.

Lalu yang kedua: time (waktu) di mana seseorang akan berpikir membutuhkan waktu-waktu yang cukup untuk mengasosiasikan pengetahuannya, sehingga menghasilkan ide-ide baru, bahkan di waktu-waktu yang tak terduga.

Sedangkan dalam tulisan Prof. Margaret A. Boden yang ia kutip dari Boden (1990), yang membedakan 3 jenis berpikir kreatif, yaitu kombinasional, eksplorasi, dan transformasional.

Jika kita tarik benang merahnya, cara memunculkan pikiran kreatif dari 3 jenis berpikir kreatif tadi adalah dengan menasosiasikan atau menghubungkan pengetahuan, konsep, atau aturan-aturan menjadi sesuatu yang baru.

Jadi bagaimana, Anda lebih memilih menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sudah mutlak, atau menjawab dengan jawaban berbeda melalui proses kreatif?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun