Cukup mudah untuk mengatakan apa yang akan menghambat kreativitas di dalam kelas: tiga hal di atas segalanya.
Pertama, desakan teguh pada jawaban yang 'benar', dan / atau cara yang 'benar' untuk menemukannya;Â
kedua, keengganan (atau ketidakmampuan) untuk menganalisis jawaban yang 'salah' untuk melihat apakah mungkin ada manfaatnya, mungkin dalam keadaan yang agak berbeda (pikirkan resep lem yang 'gagal' yang mengarah ke Post-it Notes);Â
dan ketiga, ekspresi ketidaksabaran, atau (lebih buruk lagi) penghinaan, bagi orang yang memberikan jawaban yang tidak terduga.
Berpikir divergen (kreatif) membuat kita mampu memecahkan masalah dengan cara yang berbeda, dan bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Hasil dari berpikir kreatif seperti dalam penemuan-penemuan terbaru menjadi sebuah kebanggan sendiri apalagi diterima dan diapresiasi oleh masyarakat.
Namun, terkadang tidak semuanya dapat diterima oleh masyarakat, karena menurut mereka tidak sesuai dengan aturan, konsep, atau fakta yang ada. Atau mereka yang terlalu terpaku dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga tidak menemukan hal yang baru.
Lalu bagaimana cara agar kita mampu berpikir kreatif?
Setelah saya menyimak video presentasi Teo Haren dan berusaha memahami tulisan Prof. Margaret A. Boden, saya akan mencoba menyimpulkannya secara singkat.
Menurut Teo Haren, pikiran yang kreatif akan lahir dari perpaduan dua hal yang ia analogikan seperti tarian. Dua hal tersebut ialah, pertama: input (masukan) atau hasil diskusi dengan orang lain yang menghasilkan pandangan-pandangan baru.
Lalu yang kedua: time (waktu) di mana seseorang akan berpikir membutuhkan waktu-waktu yang cukup untuk mengasosiasikan pengetahuannya, sehingga menghasilkan ide-ide baru, bahkan di waktu-waktu yang tak terduga.
Sedangkan dalam tulisan Prof. Margaret A. Boden yang ia kutip dari Boden (1990), yang membedakan 3 jenis berpikir kreatif, yaitu kombinasional, eksplorasi, dan transformasional.
Jika kita tarik benang merahnya, cara memunculkan pikiran kreatif dari 3 jenis berpikir kreatif tadi adalah dengan menasosiasikan atau menghubungkan pengetahuan, konsep, atau aturan-aturan menjadi sesuatu yang baru.