Jika dalam tiga detik kita tidak terburu-buru mengangkat tangan dan berhenti berpikir karena hanya mendapatkan satu jawaban, masih ada waktu untuk kita memikirkan jawaban lainnya.
Jawaban (lainnya) yang pertama adalah...lima
Karena logikanya di sini tentu saja susunan angka tersebut merupakan susunan bilangan prima
Kemudian jawaban paling favorite saya adalah delapan, karena angka ini jika diputar sembilan puluh derajat akan membentuk lambang tak hingga atau infinity (sehingga angka setelah tiga memang tidak terhingga, empat dan seterusnya)
Kembali ke cerita gadis kecil bernama Nanda yang saya ceritakan di awal tulisan ini. “Jika” soal yang dikerjakan Nanda sama dengan soal yang diberikan Haren kepada audiensnya, kunci jawabannya adalah empat, sedangkan Nanda menjawab lima. Bagaimana pandangan kalian mengenai hal ini?
Saya rasa pembaca mungkin pernah mendengar hal-hal semacam ini. Bahkan saya juga pernah melihat beberapa influencer yang mengkritik mengenai hal ini di sosial media mereka, sambil menunjukan lembar jawaban siswa yang bernasib sama dengan lembar jawaban Nanda.
Kira-kira seperti itulah ruang kelas (sekolah) menghambat potensi cara berpikir kreatif pada anak. Hal ini tidak saya simpulkan berdasarkan opini saya sendiri, merujuk kepada tulisan yang berjudul Creativity and Knowledge oleh Margaret A. Boden seorang profesor dari Universitas Sussex:
It is easy enough to say what will smother creativity in the classroom: three things, above all.
First, an unbending insistence on the 'right' answer, and/or on the 'right' way of finding it;
second, an unwillingness (or inability) to analyse the 'wrong' answer to see whether it might have some merit, perhaps in somewhat different circumstances (think of the 'failed' glue recipe that led to Post-it Notes);
and third, an expression of impatience, or (worse still) contempt, for the person who came up with the unexpected answer.