"Besok akan ada ulangan untuk pelajaran hari ini, jadi dipersiapkan dengan baik"
Kata pak Ali, usai mengakhiri kelas seni bersama siswa kelas X.
Sontak para siswa menjawab
"Iya pak", walau sebenarnya para siswa belum siap, ditambah dengan pemberitahuan yang sangat mendadak.
Layaknya pengumuman mendadak dari Pak ali, para siswa juga terlihat mendadak kebingungan. Mereka mulai sibuk membuka kembali buku catatan, membacanya, dan ada yang menuliskan kembali kedalam catatan-catan kecil agar mudah dibaca atau alih-alih biar mudah dibawa ketika ulangan.
"yang penting nilainya gak jelek-jelek amatlah..", Tidak jarang celetukan seperti ini keluar dari mulut para siswa.
Tidak cukup hanya dengan membaca dan mencatat kembali, sebagian siswa mulai menghafal materi di setiap lembar catatan yang  mereka miliki. Kurang dari satu hari mereka menghafal materi tanpa satupun kata yang terlewatkan.
Berkat hafalan yang kurang dari sehari, para siswa terselamatkan dari cobaan sehari. Seperti itulah akhirnya, siswa menjawab semua pertanyan dengan baik. Begitupun dengan nilainya "mayanlah..gak jelek-jelek amat.."
Pernahkah kalian merasakan hal yang seperti ini?, bukan hanya "pernah", bagi saya pribadi, hal ini sudah "sering" saya temui. Dan jujur bahkan sering jadi pelaku. Pola belajar yang seperti ini bahkan terus terjadi hingga di bangku menengah atas. Dan tak jarang  juga dianut oleh sebagian mahasiswa di perguruan tinggi.
Jika kalian pernah mengalami hal yang seperti ini, coba diingat-ingat kembali "Apakah kalian masih mengingat materi yang kalian hafal dulu?", jangankan materi yang sudah berlalu selama bertahun-tahun, materi yang dihafal satu bulan yang lalu, sebagian besar dengan mudahnya dilupakan. Apalagi setelah beberapa minggu materinya ditanyakan kembali oleh seorang guru, seolah-olah siswa amnesia dalam sekejap, hanya beberapa anak saja yang masih mengingatnya. Kira-kira begitulah realita yang kerap saya temui, bagaimana dengan kalian?
Maraknya praktek aliran cara belajar yang seperti ini, terkadang membuat saya berpikir "apakah guru-guru di sekolah menyadarinya?", teringat kembali perkataan seorang guru,
"Nanti UAS untuk pelajaran saya ujian lisan ya.., biar saya tau mana yang paham dan yang belum atau yang hanya menghafal.."
"Kalau jawaban yang ditulis gak sama kaya yang di buku..otomatis dehh nilainya bakalan rendah...padahal inti dari  jawaban kita sama aja kaya yang di buku, cuma kata-katanya doang yang beda" dan ini adalah curahan hati dari beberapa siswa.
Ternyata ada guru yang menyadari dan adapula yang berpikir bahwa dengan menghafal sama dengan memahami. Disini saya tidak bermaksud untuk menyalahkan guru. Hal ini juga tergantung dari kesadaran setiap siswa.
Memahami bagaimana cara belajar dari teori Jerome Bruner
Setiap orang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami sesuatu, konteks ini juga masih berkaitan dengan proses belajar. Ketika belajar, seseorang memiliki cara yang berbeda dalam memahami apa yang sedang ia pelajari. Hal ini dipertegas oleh Jerome Brunner, seorang psikolog yang juga pemerhati dunia pendidikan, "Sebaiknya peserta didik membangun pengetahuan mereka sendiri dan belajar dengan mengatur dan mengelompokkan informasi menggunakan sistem pengkodean"
Maksud dari "pengkodean" dalam pernyataan Bruner, setiap siswa membuat kode atau cara yang memudahkan mereka dalam memahami materi yang dipelajari. Ketika diulang kembali apa yang mereka telah pelajari, secara langsung siswa akan merepresentasikan kode-kode yang sudah mereka buat sendiri dan dengan mudah mengulang kembali pelajaran yang sudah dipelajari tadi. Selain itu, Bruner juga meyakini bahwa proses 'pengkodean' akan semakin efektif apabila siswa yang akan mencari sendiri. Proses membangun pemahaman sendiri ini selanjutnya disebut Discovery Learning oleh Bruner.
Tahap Proses Belajar (Peroleh Informasi) pada Anak
Enaktif (0-1 Tahun)
Pada tahap ini anak memperoleh informasi atau berpikir sepenuhnya dari tindakan fisik. Hal ini sesuai dengan tahap sensori motorik yang dikemukakan oleh Jean Piaget seorang psikolog yang ahli dalam perkembangan anak. Jika berpikir secara logis, Â mustahi pada anak-anak yang normal mampu menggambarkan apa yang mereka ketahui dengan kata-kata atau yang sejenisnya.
Ikon (1-6 Tahun)
Anak akan lebih memahami apa yan ia lihat atau hal-hal yang visualisasi, hal ini bisa berupa gambar, video, dan lain sebagainya. Ketika kita memberikan informasi atau cerita anak secara verbal (kata-kata) maka dengan menunjukan gambar akan membuat anak lebih memahami apa yang sudah diberitahukan kepadanya. Hal ini juga mendasari mengapa buku cerita anak didominasi oleh gambar-gambar animasi yang menarik.
Simbolik (7 tahun-seterusnya)
Pada tahap ini anak sudah memahami simbol-simbol yang bentuknya lebih abstrak. Ketika diberikan informasi anak akan langsung memahami tanpa harus menunjukan gambar atau hal-hal yang menggunakan proses visualisasi. Hanya dengan bercerita, anak sudah mampu membayangkan apa yang diceritakan seseorang. Anak sudah mampu menggunakan logika dalam berpikir ketika diberikan informasi yang abstrak.
Sumber:
1. Bruner - Learning Theory in Education
2. Belajar dan Pembelajaran oleh Husamah dkk. (UMMPress:2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H