Cerpen  |  Menyibak Realita di Balik Lensa Kamera TV
DikToko
(Soetiyastoko)
Langit sore itu oranye cerah. Satrio duduk di sofa reyotnya, menonton siaran berita di TV tabung tua yang diselamatkan dari gudang kantor.
Wajahnya kaku saat pembawa berita mengabarkan duka: tiga jurnalis televisi meninggal di tempat setelah mobil mereka dihantam truk di pinggir jalan tol.
"Innalillahi...," gumam Satrio. Tapi rasa belasungkawa itu tak bertahan lama. Dia terpaku pada fakta mencengangkan yang muncul sesudahnya. Jenazah ketiga jurnalis itu dibawa ke tempat tinggal masing-masing. Bukan rumahnya, ternyata. Dua tinggal di kamar kontrakan kecil dan yang lain masih numpang di rumah mertua ---setelah belasan tahun bekerja sebagai jurnalis televisi.
Satrio menggeleng tak percaya. "Gila! Itu kerja keras bertahun-tahun cuma buat ngontrak? Apa bedanya gue sama mereka?" pikirnya.
***
Malam itu, Satrio mulai mengevaluasi hidupnya. Dia teringat bagaimana selama 12 tahun menjadi kameramen, gajinya nyaris stagnan di angka UMR.
Berkali-kali dia meminta kenaikan gaji, tapi selalu dijawab dengan senyum menohok manajer, "Kita semua susah, Sat."
Di kesempatan lain  boss HRD, menjawab, "TAKE IT OR LEAVE IT, masih ngantri yang ngelamar jadi kameramen !"
***