Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Di Balik Kegilaan Politik: Ketika Fanatisme Mengaburkan Akal Sehat

9 Oktober 2024   16:06 Diperbarui: 9 Oktober 2024   16:46 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah dengan mencela dan menghujat tokoh lawan mereka, akan bisa mengubah pandangan yang lain ? Atau ini hanya sekadar pelampiasan atas kekecewaan masalah kehidupan pribadi mereka sendiri?"

Yaa  mereka butuh membuka katup sedikit, untuk mengurangi tekanan hebat.

Agar tetap baik-baik saja. Tak meledak sendiri, seperti tabung gas yang memakan korban sekampung.

Aku teringat percakapan di warung kopi tempo hari. 

Sekelompok pemuda, bersemangat dan berapi-api, saling berbantahan soal politik. Namun, ketika aku mencoba mengajukan pandangan yang lebih tenang dan obyektif, mereka malah mencibir.

Aku terdiam, membatin, "Mereka melihat dunia hanya dalam hitam dan putih. Mereka lupa, di antara kedua warna itu ada banyak gradasi abu-abu."

Sekarang aku berada di ruang kerja, jari-jariku mengetik respons di ponsel. Tapi apa yang hendak kutulis? 

Aku bisa saja menuliskan argumen panjang lebar, menjelaskan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, bahwa semua ini hanyalah bagian dari dinamika demokrasi.

Namun akhirnya, aku memilih kembali berbicara pada diriku sendiri: 

"Apa gunanya? Mereka yang sudah memilih untuk percaya pada satu hal, tidak akan berubah hanya karena satu-dua kalimat dari lawan bicara. Atau penengah.

Mereka sudah membangun tembok keyakinan yang begitu kuat. Dan akupun akhirnya sadar, bahwa aku hanya berusaha meredam ketegangan ini di dalam diri, bukan di luar sana."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun