Cerpen  |  Mobil Mewah, Cicilan, dan Kebahagiaan yang Tersesat di Pantai Canggu
DikToko
(Soetiyastoko)
Pagi itu di pantai Berawa - Canggu, Bali, udara masih segar dengan hembusan angin yang membawa aroma laut khas tropis. Terasa kuat dengan arah yang berubah-ubah.
Matahari baru saja naik di ufuk timur, memancarkan sinar hangat yang mulai menyentuh permukaan air, menciptakan kilauan bak permata di atas ombak kecil yang bergulung ritmis. Langit biru tanpa cela dengan burung-burung camar sesekali melintas, menambah harmoni alam yang membuat suasana terasa damai.
Di depan sebuah hotel bintang lima, seorang perempuan setengah baya terbaring santai di atas bangku kayu ber-cat putih. Payung besar yang terpasang kokoh di sampingnya memberi perlindungan dari sengatan matahari pagi yang mulai menguat.
Ia mengenakan kacamata hitam dengan rambutnya yang tersapu angin. Di sebelahnya, seorang ibu pemijat yang sudah berpengalaman tengah memijat lembut kakinya, tangan cekatan itu bergerak seirama dengan gumaman lembut debur sang ombak.
"Enak ya, Bu," suara sang pemijat memecah keheningan pagi itu. "Bisa bolak-balik Jakarta-Bali. Ibu memang rejeki saya, pelanggan royal! Terima kasih ya, Bu," ucapnya sambil tersenyum, mulai mengoleskan minyak hangat ke kaki sang nyonya.
Perempuan itu tersenyum tipis, merasakan setiap tekanan lembut yang menenangkan.
"Keren, katanya?" bisik hatinya. Ia lalu membuka suara dengan nada yang sedikit sinis.
"Duit di bank cuma ada satu juta, tapi mobil yang yang pakainya cicilan lima tahun! Tiap bulan nyaris tekor. Giliran mau bayar pajak dan STNK? Pusing ! Cari utangan sana-sini. Gila, kan?"
Pemijat itu tertawa pelan, terus bekerja sambil mendengarkan seloroh sang nyonya.
"Iya, Bu. Orang kadang cuma lihat luar, enggak tahu gimana susahnya di dalam."
Perempuan itu menatap jauh ke arah laut, di mana beberapa peselancar mulai bersiap mengejar ombak pagi.
"Benar! Mereka lihat mobil mewah yang disetirnya, mereka kira dia kaya. Padahal hatinya nyesek tiap kali tagihan cicilan datang."
Nyonya itu tersenyum sejenak, ... Â
"Di sisi lain, ada orang yang duitnya 10 M di bank, tapi naik angkot. Orang kira dia miskin. Dunia ini aneh."
Sang pemijat mengangguk setuju, sesekali menatap wajah pelanggannya yang tampak lebih banyak merenung daripada menikmati pijatan.
"Ya, Bu, yang penting hati kita senang, ya? Kadang apa yang orang pikirkan soal kita  enggak ada hubungannya sama kebahagiaan yang kita rasakan sendiri."
Perempuan itu terkekeh lemah, "Tapi kalau mau aman dari prasangka orang, ya pastikan aja kita punya 25 M di bank dan kemana-mana naik mobil mewah yang enggak nyicil! Dan punya sopir".
Mereka berdua tertawa ringan, bercanda di tengah keindahan pagi itu. Ombak sakin tinggi terus memecah pantai dengan irama yang menegangkan, Menantan para peselancar.
Sesekali terdengar suara anak-anak berlari di pasir yang mulai memanas oleh sinar matahari.
"Wouuuw! Semua ini gara-gara kebanyakan nonton sinetron!" perempuan itu kembali membuka percakapan, kali ini lebih santai.
"Latar kemewahan, bikin banyak orang keranjingan ingin dilihat 'wah'. Bukan karena mereka butuh, tapi karena takut dipandang rendah."
Sang pemijat berhenti sejenak, lalu tertawa kecil. "Iya, Bu. Banyak yang begitu. Padahal yang penting kan bukan apa yang kita pakai, tapi apa yang kita capai. Prestasi, bukan tas 286 juta atau jam tangan miliaran!"
Perempuan itu mengangguk sambil mengangkat kepalanya sedikit, melihat ke arah pemijatnya.
"Tepat! Hidup bahagia itu jangan digantungkan pada penilaian orang lain. Kalau kamu kelihatan 'borju-cetar', tapi giliran diminta sumbangan cuma kasih 25 ribu, pasti bakal dicap pelit sampai mati."
Keduanya tertawa, tetapi di balik tawa itu ada kesadaran yang mulai mengemuka.
Perempuan pensiunan 2 kali  wakil rakyat yang juga pengusaha lobster itu kembali membaringkan diri, memejamkan mata. Seolah, dalam keheningan pagi di pantai itu, ia menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia abaikan.
Kesimpulan
Hidup sering kali kita jalani dengan terjebak pada prasangka dan penilaian orang lain.
Namun, kebahagiaan sejati tidak akan pernah kita dapatkan dari hal-hal eksternal, melainkan dari kedamaian hati dan kesadaran diri.
Seberapa pun mewah penampilan kita di luar, jika di dalam diri kita masih penuh dengan rasa takut akan penilaian orang lain, kita tidak akan pernah benar-benar merasa bahagia. Ketenangan hati tidak bisa dibeli dengan materi.
Saran
Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an,  _"Dan janganlah kamu terlalu mengarahkan pandanganmu kepada apa yang Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal."_  (QS. Thaha: 131).
Fokuslah pada apa yang membuat kita benar-benar bahagia dan bermanfaat di mata Allah, bukan yang di mata manusia. Materi hanya ujian, bukan tujuan hidup.
_(Seberapa bermanfaat-kah diriku bagi sesama ?)_
Tamat
-----------
Pagedangan, Minggu 06/10/2024 11:47:01
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H