Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Semburat Memar Malam di Pulau Terpencil

19 September 2024   15:42 Diperbarui: 19 September 2024   15:42 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |  Semburat Memar Malam di Pulau Terpencil

DikToko
(Soetiyasto
ko)

Kegaduhan mendadak meledak di tengah-tengah keramaian. Saat itu, calon pengantin pria baru saja hendak mengulurkan tangannya kepada penghulu.

Senyum dari tamu undangan tetiba pudar, berubah menjadi kepanikan yang menyelimuti ruangan. Tubuh pria muda itu tiba-tiba kejang-kejang, menggeliat dan terjungkal di depan banyak orang.
Matanya membelalak dan memutar, mulutnya berbusa, dan keringat deras mengalir di dahinya.

"Hentikan! Tolong dia! Ada yang tahu ini kenapa?!" teriak seseorang dari keluarga mempelai wanita.

Keluarga mempelai putri segera bereaksi. Salah satu dari mereka mengeluarkan ponsel dan menelpon rumah sakit terdekat dengan panik. "Cepat! Dokter! Kami butuh dokter sekarang juga!"

Dalam kekacauan itu, di sebuah rumah sakit sederhana yang hanya berjarak beberapa kilometer dari tempat berlangsungnya akad, Dokter Bimo, seorang dokter muda, sedang menikmati waktu liburnya. Hari itu dia tidak dijadwalkan untuk berjaga, tetapi panggilan darurat  mengharuskannya datang.

Dia langsung bergegas tanpa pikir panjang. Bersama seorang perawat senior, Pak Amir. Mereka menempuh perjalanan singkat ke tempat pernikahan, menggunakan sepeda motor trail. Satu-satunya kendaraan yang cukup tangguh menembus jalan-jalan terjal pulau kecil itu.

Ketika tiba, suasana sudah panas. Keluarga calon pengantin pria terlihat cemas dan marah. Seorang bibi dari pihak pengantin pria langsung menyambut kedatangan Dokter Bimo dengan wajah memerah,
"Kenapa lama sekali?! Sudah hampir setengah jam kami menunggu! Dia sekarat!"

Bimo mengangkat tangan, mencoba menenangkan mereka. "Maaf, saya sudah datang secepatnya."

Bimo segera mendekati calon pengantin pria yang masih tergolek di lantai. Tanda-tanda kejang epilepsi terlihat jelas. Dia memeriksa denyut nadi pria itu dan memastikan napasnya stabil.

Dengan tenang, dia berbisik kepada keluarga,
"Ini epilepsi. Sebentar lagi dia akan kembali normal."

Tapi ucapannya malah membuat suasana semakin tegang. Mendengar kata 'epilepsi', seorang paman dari pihak keluarga mempelai pria tiba-tiba naik pitam.

"Epilepsi? Kamu bilang anak ini punya penyakit ayan? Kamu menghina keluarga kami di depan orang banyak?!"

Bimo kaget,
"Bukan begitu, Pak. Epilepsi itu kondisi medis, tidak ada hubungannya dengan penghinaan. Pasien ini, ..."

"Diam!" teriak paman itu sambil mendorong Bimo dengan kasar.

"Kami dipermalukan di sini, dan kau bilang ini ayan?!"

Seolah disulut oleh kemarahan paman itu, beberapa anggota keluarga lain ikut menyerbu. Pukulan demi pukulan menghantam tubuh Bimo. Perawat Amir yang berusaha melerai pun terkena pukulan, tetapi jumlah mereka terlalu banyak.

Bimo yang tadinya berdiri tegak, kini terhuyung-huyung lalu jatuh tersungkur. Darah mulai mengalir dari sudut bibirnya, napasnya sesak. Ada yang tega menginjak !.

"Cukup! Ini keterlaluan!" teriak Amir, mencoba menahan serangan yang terus datang.

Bimo sudah tidak kuat. Tubuhnya terhempas ke tanah, kesadarannya mulai memudar.

Terakhir kali yang dia ingat adalah teriakan-teriakan penuh amarah dari keluarga mempelai pria yang menuntut balas atas rasa malu mereka.

Dalam kondisi setengah sadar, Bimo akhirnya oleh warga dimasukkan ke beberapa sarung yang melilit tubuhnya dan dipikul dengan sebatang bambu yang baru ditebang. Dengan cara itu, dipikul
ke rumah sakit.

Peralatan medis yang minim di rumah sakit kecil itu tak bisa memberikan banyak pertolongan.
Memar di tubuhnya terlalu banyak, dan berhari-hari kesadarannya tak kunjung kembali. Dokter Bimo kini terbaring di ICU, tak berdaya di rumah sakit tempat ia mengabdi.

-----

Dalam ketidaksadarannya, Dokter Bimo tenggelam dalam mimpi yang tak jelas namun penuh makna.

Dia mendapati dirinya berada di sebuah kota yang aneh, penuh dengan kilauan cahaya dan misteri. Itu adalah Kota Ajaib: Misteri Pedang Kristal. Di tangannya, ia memegang pedang bercahaya, seolah-olah pedang itu menyimpan rahasia tentang hidupnya.

Langkah kakinya kemudian membawanya ke sebuah jalan sempit, di mana hujan turun deras.
Di bawah hujan itu, ada seorang wanita yang tersenyum lembut kepadanya. Hatinya tersentuh oleh Cinta di Bawah Hujan: Perjalanan Hatiku. Namun, sebelum Bimo bisa mendekatinya, bayangan wanita itu memudar, menjadi Bayangan Malam: Rahasia di Balik Jendela. Bimo pun kembali sendirian.

Dia berjalan tanpa arah, sampai tiba-tiba dia berada di hadapan istana besar. Di depan istana itu berdiri seorang ratu yang anggun.

"Selamat datang di Ratu Kekaisaran: Kisah Sejarah Dinasti Ming," kata sang ratu dengan suara lembut namun berwibawa. Bimo merasa terpanggil untuk mencari jawaban di dalam istana itu, tetapi sebelum ia sempat memasuki pintunya, tubuhnya terseret oleh ombak besar.

Sekarang dia berada di sebuah pantai terpencil, di mana senja berwarna merah keemasan menghiasi langit. Semburat Senja: Ombak Rindu di Pantai Jauh membawanya pada keheningan yang dalam. Namun, dalam kedamaian itu, Bimo tahu bahwa perjalanan batinnya belum selesai.

Dia melangkah lebih jauh hingga menemukan sebuah pintu besar yang penuh dengan ukiran misterius. Labyrinth: Misteri di Balik Pintu Terlarang menantinya di sana. Bimo tahu bahwa pintu ini menyimpan rahasia tentang dirinya, tentang hidup dan maut, tapi apakah dia siap untuk membukanya?

----

Dokter Bimo, yang kini terbaring tak sadarkan diri di dunia nyata, perlahan mulai kembali ke kesadarannya.
Pulau kecil yang jauh dari kota besar, dengan rumah sakit yang kurang peralatan dan tenaga medis, adalah saksi bisu perjuangannya.

Teriakan keluarga calon pengantin pria yang memarahinya masih terngiang di telinganya.
Namun, di balik semua mimpi aneh itu, satu hal mulai jelas bagi Bimo: hidupnya adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan.

Beda dengan teman-teman seangkatannya.  Terutama yang berasal dari keluarga kaya-raya atau pejabat  mereka dengan cara yang tak biasa, bisa memilih kota penempatan yang diinginkan.

Tapi bagi Bimo, tujuan hidup baginya adalah mencari ridho Allah. Bukan mencari harta kekayaan. Seperti yang dulu selalu diajarkan Ibu dan Ayahnya.

Kini memar-lebam dan terluka seluruh tubuhnya, di tempat ia mengabdi, di pulau terpencil.
Bimo kini harus menghadapi kenyataan pahit yang baru. Ia tidak hanya harus bertahan dari luka fisik, tetapi juga dari luka batin akibat amarah dan kekecewaan manusia.
Meski peralatan rumah sakit sederhana itu tak memadai, ia tahu bahwa semangatnya untuk bangkit kembali harus tetap ada.

Mimpi-mimpinya di ICU darurat, telah membawanya pada satu kesimpulan: terkadang yang terpenting bukanlah kekuatan fisik, tetapi ketangguhan hati.

Dan di tengah kesunyian ruang ICU yang dindingnya kusam dan berjamur di sana-sini, Bimo tersenyum lemah, saat disapa rekan perawat, berharap esok hari akan membawanya kembali pada kehidupan yang lebih baik.
Entah tantangan apalagi yang masih menunggu di depannya.

-------

*Kesimpulan*

Peristiwa yang dialami dokter Bimo adalah cerminan dari bagaimana ketidakpahaman, ketegangan, dan rasa malu dapat menuntun seseorang pada tindakan yang tidak adil.

Keluarga calon pengantin pria sebenarnya sudah mengetahui bahwa calon mempelai mengidap epilepsi, namun mereka memilih merahasiakannya dari keluarga mempelai putri.

Ketika penyakit itu kambuh di momen penting, rasa malu dan panik membuat mereka mencari kambing hitam, dan sayangnya, dokter Bimo yang datang untuk menolong justru menjadi sasaran kemarahan mereka.

Mimpi-mimpi yang dialami Dokter Bimo saat tak sadarkan diri mencerminkan perjalanan batinnya dalam menghadapi ketidakadilan dan kekerasan yang dialami.

Setiap mimpi menggambarkan bagaimana ia mencari jawaban atas kehidupannya, menghadapi konflik dan kebingungan. Namun di sisi lain juga berjuang untuk menemukan kedamaian dan arti sebenarnya dari tugasnya sebagai dokter.
Mimpi-mimpi itu mengajarkannya bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, tetapi juga memberikan kesempatan untuk refleksi diri, kesabaran, dan ketangguhan mental.

Pada akhirnya, dokter Bimo dihadapkan pada realitas bahwa meskipun ia menderita akibat ketidakadilan, tugasnya sebagai penyembuh tetaplah mulia.

Peristiwa itu mengingatkannya bahwa dalam profesi medis, ia akan sering berhadapan dengan situasi sulit.
Betapapun itu, tanggung jawabnya adalah untuk tetap menjaga integritas dan profesionalisme, meski kadang harus menghadapi ketidakadilan.

*Saran*

1. Keterbukaan adalah Kunci:

Keluarga calon pengantin pria seharusnya terbuka tentang kondisi kesehatan calon mempelai. Keterbukaan mengenai penyakit seperti epilepsi bisa menghindarkan banyak masalah di kemudian hari, baik bagi pihak keluarga maupun calon pasangan.

Menutupi kondisi medis dari pasangan atau pihak lain hanya akan menambah beban dan menciptakan masalah yang lebih besar di masa depan.

2. Pahami Sebelum Menghakimi:

Saat berada dalam situasi yang penuh emosi, mudah untuk menyalahkan orang lain.
Namun, penting untuk tetap tenang dan berusaha memahami situasi sebelum menghakimi atau bertindak agresif.

Dalam kasus ini, keluarga mempelai pria membiarkan rasa malu dan emosi mereka mendominasi, sehingga menyerang orang yang berusaha menolong.
Dalam kondisi darurat, penting untuk memberikan kepercayaan kepada tenaga medis yang memiliki pengetahuan lebih dalam menangani pasien.

3. Hargai Tenaga Medis:

Setiap dokter dan tenaga medis adalah pihak yang bekerja keras untuk membantu orang lain, seringkali dalam kondisi yang tidak ideal.
Mereka perlu dihormati dan diapresiasi, bukan menjadi sasaran amarah dan kekerasan.

Setiap orang harus memahami bahwa keterlambatan atau ketidakcukupan dalam pelayanan medis sering kali disebabkan oleh keterbatasan fasilitas, bukan ketidakpedulian.

4. Kesabaran dan Pengendalian Diri:

Ketika menghadapi situasi kritis, kesabaran dan pengendalian diri adalah kunci utama. Bertindak tanpa berpikir jernih hanya akan memperburuk keadaan dan merugikan orang lain, seperti yang terjadi pada Dokter Bimo.

Semua orang, kiranya perlu belajar untuk menahan diri dalam situasi sulit dan mencari solusi dengan kepala dingin.

-------

Pagedangan , BSD, Kamis, 19/09/2024 14:39:35

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun