Rasa suka dan kecewa  yang menggelayuti
pikiran, mengajakku mulai berkelana, menyusuri setiap ingatan dan pengamatan yang terkumpul dalam hari-hariku.
"Aku melihat hidup orang lain begitu nikmat," gumamku dalam hati. Rasanya mereka memiliki hidup yang sempurna. Tidak pernah tampak ada kekurangan.
Teman-ku di kantor, dan rekan-rekan tim pendukungku yang selalu tampak sukses dan ceria, seolah tidak pernah terjatuh.
Tapi, aku tahu betul, bahwa mereka pun menyimpan duka di dalam hati, yang tak pernah terungkap di permukaan.
Mobil perlahan melintasi jembatan Semanggi, menuju Jalan Gatot Subroto ke arah Tomang.
Aku menatap sekeliling, gedung-gedung tinggi berdiri kokoh di sepanjang jalan. Alunan jazz kini berganti dengan denting lembut bossanova Rien Jamain, mengiringi arus pikiranku yang terus berkelana.
"Aku melihat hidup teman-temanku tak ada duka dan kepedihan," kembali aku bergumam. Namun, semakin aku mengenal mereka, semakin aku sadar bahwa kebahagiaan mereka datang dari rasa syukur. Bukan karena hidup mereka sempurna, tapi karena mereka pandai mensyukuri apa pun yang ada.
Di balik senyum mereka, ada ujian yang tak kasat mata, yang dijalani tanpa keluhan.
Langit mulai gelap ketika aku sampai di jalan tol Slipi, laju mobil mulai lancar.
Agak tersendat ketika mendaki Flyover Tomang, kesempatan melihat deretan Tower di atas Mal Taman Anggrek.
Di atas sini, pikiranku lebih tenang. Suasana jalan yang luas dan lapang membiarkan aku tenggelam dalam lamunan.
"Saudaraku tampak begitu tenang dalam kehidupannya," pikirku. Namun, di balik itu semua, aku tahu dia selalu menghadapi badai kehidupan.
Hanya saja, dia menjalaninya dengan sabar, dan menemukan kedamaian dalam ujian yang datang silih berganti.