Humaniora | *Memaknai Kehidupan di Tengah Kegelisahan Demonstrasi*
DikToko
(Soetiyastoko)
Aku duduk di atas motor kreditan yang belum lunas, mesin yang sudah mulai lelah didera beban setiap hari kitari kota.
Dan tentu tak lagi setangguh dulu, ketika baru. Tapi masih tampak gagah, body bongsor - mesin 155 cc. Ibarat taksi, sepeda motorku : Limousin. Wah ! Ojek yang gaya.
Suara knalpotnya bila menggeram, hampir tenggelam oleh hiruk-pikuk kota.
Ada saatnya hidup dihadapkan pada realitas yang mengusik hati dan pikiranku.
Realitas ini begitu dekat, begitu menekan, hingga setiap detiknya terasa seperti ujian berat yang tak kunjung usai.
Seperti siang yang terlalu terik, matahari menggantung di langit tanpa awan, menyorot tajam ke setiap jengkal bumi. Saat dahaga tak menemukan air.
Di hadapanku, jalan raya memanjang, penuh dengan kendaraan yang bergegas, seolah-olah waktu tak pernah cukup untuk dilewati.
Namun, bagiku, waktu justru terasa melambat. Pendapatan harian yang dulu cukup untuk memenuhi kebutuhan kini mulai menyusut.
Ikan teri yang biasa menemani sepiring nasi telah beringsut, berganti dengan kerupuk. Dan hanya keberuntungan yang membuat beras tetap menjadi makanan yang tersaji, bukan singkong. Jangan bilang jagung untuk alternatif. Jagung lebih mahal.
Kutermenung, pandangi langit biru yang tanpa awan.
Angin bertiup lembut, tapi tak membawa kesejukan.
Hanya doa yang bisa terucap, memohon kekuatan agar aku tetap bisa bersyukur, meski rasa syukur itu semakin sulit kurasakan di tengah keterbatasan ini.
Pikiran tentang jalan pintas kerap muncul di benakku.
Menggoda diri.
Terkadang, aku berharap ada rezeki dari sumber lain yang datang tanpa diduga. Namun, suara hati selalu mengingatkanku akan batas-batas moral dan kepatutan..
Kejujuran adalah sesuatu yang harus tetap kupegang teguh, meskipun korupsi sering kali terlihat sebagai jalan yang lebih mudah. Tapi, apa yang bisa kukorupsi ?
Meskipun aku tahu, kekuasaan untuk mengubah nasib tak sepenuhnya di tanganku. Sulit bagiku untuk bisa mengabaikan godaan itu.
Godaan untuk menyerah pada keadaan,
lantas lakukan sesuatu yang melawan hati nurani. Datang silih berganti. Astaqfirullah, ...
Siang terus bergulir, matahari mulai bergerak ke barat, dan aku menemukan diriku di tengah kerumunan para pengemudi ojek yang berunjuk rasa. Teman, sekaligus saingan-ku.
Kami di sini, di jalan terbuka, yang memaksa berkumpul,
menuntut potongan upah dikurangi. Teriakan tuntutan bergema di seantero jalan, bercampur dengan deru kendaraan dan klakson yang bersahut-sahutan minta jalan.
Panas terik dari raja siang menyengat kulit, namun tak mampu meredam semangat mereka, kami dan aku. Memperjuangkan hidup yang sedikit lebih baik.
Aku melihat raut wajah-wajah penuh harap, raut wajah yang mencerminkan keinginan untuk hidup layak, untuk bertahan di tengah kerasnya kota ini.
Di antara kami, ada yang menggenggam erat setang motornya, seolah-olah itu adalah satu-satunya pegangan yang kami miliki.
Ada pula yang duduk di atas motor, lelah dan lesu, namun mata mereka tetap tajam, menatap masa depan yang entah akan seperti apa.
Aku melihat diriku sendiri di antara mereka. Aku adalah bagian dari mereka. Aku juga ingin perubahan. Aku juga ingin hidup lebih layak.
Tapi, di tengah semua ini, aku tak bisa menahan diri untuk bertanya, adakah perubahan yang bisa datang dari suara-suara ini? Atau justru semuanya akan semakin membenamkan kami dalam ketidakpastian?
Sore mulai merangkak, perlahan menggantikan siang yang menyala-nyala. Langit berubah warna, dari biru terang menjadi jingga keemasan. Awan-awan mulai berkumpul, seolah-olah ingin menutupi jejak matahari yang hendak menyelam di balik keangkuhan gedung-gedung tinggi.
Di sinilah, di bawah langit yang mulai gelap, aku kembali teronggok dipaksa keadaan untuk merenung.
"Akankah suara kami didengar ?" , lirih kubisikan lagi.
Ketika aku menatap keindahan alam ini, aku menangkap ketulusan kebersamaan dari orang-orang di sekitarku. Ojekers kota.
Aku lapar, tapi tak ada kiriman nasi bungkus, bagi Ojekers yang demo hari ini. Tak ada sponsor. Tak ada pihak lain yang dapat mengambil untung dari teriakan-teriakan kami di sini.
Aku memaknai kasih sayang yang sederhana namun tulus, nyaris tak ada, untuk demo kami.
Hanya cerca pelanggan yang kecewa, order-nya tak dipedulikan. Sedangkan aku menggenggam kerinduan akan kehidupan yang lebih baik.
Hidup ini, meski penuh dengan cobaan, masih penuh dengan keindahan. Bukankah ini sesuatu yang patut disyukuri? Tapi, di balik keindahan senja ini, hati-ku masih mendengar suara tangis dan ratap, suara-suara yang mengusik ketenangan hatiku.
Kehidupan adalah misteri yang tak mudah dijelaskan. Aku mencoba merangkumnya dalam sebuah kesadaran yang mendalam. Saat senja berganti menjadi malam, ketika langit jingga mulai menggelap, aku menerbangkan harapan dan doa lewat mega.
Diriku berharap, agar kesungguhan hatiku dapat terlihat indah di mata semesta. Aku belajar dari alam yang terus berubah, dari siang yang terang benderang hingga malam yang pekat.
Alam mengajarkan untuk menemukan kepastian dan keteguhan di tengah ketidakpastian. Karena jika kecemasan dibiarkan, ia dapat menjelma bagai hantu yang terus membelenggu pikiran.
Malam mulai jatuh, membawa kesejukan yang menggantikan panas siang. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menggantikan cahaya surya yang telah pergi. Di bawah sinar lampu yang temaram, aku bertanya pada diriku sendiri, siapa yang sebenarnya memelihara jiwaku?
Aku takut, mulai rapuh keimanan-ku. Selalu mendahulukan penumpang dibanding sholat.
Ragu pada Kekasih hati, dalam makna yang lebih luas, adalah akibat pilihan yang aku buat.
Mestinya yang kupilih merajut tali kasih-Nya sepanjang waktu, meski waktu itu terasa begitu lambat dan penuh cobaan.
Aku mengerti keindahan, kesucian, dan ketulusan bukan sekadar konsep. Mereka harus disemayamkan dalam kalbu, menjadi landasan bagi setiap langkahku.
Aku diingatkan pada kisah bijak tentang iblis yang terusir dari surga karena kesombongannya.
Manusia, meski belum pasti masuk surga, kadang bertindak seolah-olah memiliki kesombongan yang sama dengan syetan.
Hanya dada yang bersih, yang mampu memelihara jiwa dari permainan dan tipu daya dunia.
Aku duduk tersesat di atas jok motor kreditan, kawanku bilang, "Terlalu, wah, untuk diojekkan !" , kupandang langit yang semakin gelap. "Apakah aku tak layak, untuk sedikit bergaya ?" , tanyaku membathin.
Renungan lari kesana-kemari, mengajakku untuk membersihkan hati, untuk menemukan kembali kekuatan dan keteguhan dalam diri.
Di tengah gelisah dan ketidakpastian, ada ketenangan yang ingin kuraih melalui syukur, kejujuran, dan ketulusan. Karena pernah kubaca, "Hanya dengan hati yang bersih, manusia bisa menjalani hidup ini dengan damai dan penuh makna:"
Malam semakin larut. Aku memutuskan untuk pulang. Mesin motor menderu pelan, menyatu dengan suara malam yang mulai sunyi.
Jalanan kini sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Di bawah langit yang gelap, aku menyusuri jalan yang penuh dengan lika-liku. Setiap tikungan membawa aku pada pemikiran baru, setiap jalan lurus mengingatkan aku bahwa hidup ini terus bergerak maju, tak peduli seberapa berat beban yang harus aku pikul.
Di rumah petak kontrakan, lampu kecil menyala di sudut ruangan. Aku duduk di kursi tua, menatap sekeliling yang jauh dari tatanan dan ukuran layak. Semua yang aku miliki, meski tak banyak, adalah hasil dari kerja keras dan doa.
Aku tahu, hidup ini tidak akan selalu mudah. Akan ada hari-hari ketika aku merasa putus asa, ketika godaan untuk menyerah begitu kuat. Tapi di saat-saat seperti itu, aku akan mengingat kembali renungan ini.
Aku akan mengingat bahwa di tengah gelisah dan ketidakpastian, ada ketenangan yang bisa ditemukan melalui syukur, kejujuran, dan ketulusan.
Malam itu, setelah melipat sajadah, di bawah langit yang kini hitam pekat, aku berdoa sekali lagi.
Aku ingin tak lagi resah, jika ada yang tanya kapan nikah. Biarlah usia merambat, sebab, tak pantas mengajak anak orang, hidup susah.
Aku memohon kekuatan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang kuyakini. Aku memohon agar hatiku tetap bersih, agar jiwaku tidak mudah dipermainkan oleh dunia yang penuh tipu daya.
Dan aku percaya, dengan hati yang bersih, aku bisa menghadapi apa pun yang datang padaku, menjalani hidup ini dengan damai, dan berjuang menemukan makna sejati dari keberadaan ini.
Aku janji akan terus belajar apa saja, sebab hidup tak sekedar memanjat nasib.
Aamiin Yaa Allah, aamiin.
-----------
Pagedangan, BSD, Kab.Tangerang, Jumat 30/08/2024 09:07:19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H