Aroma teh itu menjadi simbol kehangatan dan kerinduan akan rumah, sesuatu yang selalu kami nanti-nantikan setelah berbulan-bulan berjibaku dengan tugas dan ujian di Kota Kembang.
Kota yang tak sesejuk dengan kota Batu, kota kami dekat kota Malang.
Akhir Ramadhan memang menjadi kesempatan untuk pulang kampung bagi kami yang merantau. Orang Betawi menyebutnya mudik.
Terpancar rasa bahagia saat tiket sudah terbeli, walaupun dengan menumpang kereta termurah. Kami muda yang masih kuat berdesak-desakan di gerbong pengap.
Hampir selalu tidak dapat tempat duduk maklum mahasiswa pejuang marjinal.
Kami tidak perduli kalau pun sepanjang perjalanan harus berdiri. Syukur jika bisa duduk "slonjoran" di bawah kolong kursi orang atau di lantai di samping WC gerbong kereta.
Aroma pesing sepanjang perjalanan, adalah sesuatu yang diterima, sebagai lumrah di kereta jelata.
Meski waktu perjalanan yang pamjang., lebih dari 10 jam baru sampai tujuan.
Naik kereta "beraroma ajaib" adalah ebuah perjuangan kecil, bagi mahasiswa perantau. Dibanding hal lain yang harus kami hadapi di Rantau orang.Â
Pulang ke rumah di kampung, seperti menemukan telaga pelepasan dahaga kerinduan.
Namun, Ramadhan kali ini berbeda. Di tengah persiapan mudik, kabar tak mengenakan datang mendadak.
Ayah kami selama ini tak pernah cerita atau mengeluh.
Diam-diam beliau ternyata mengidap penyakit penyempitan corona jantung.