DikToko
(Soetiyastoko)Saat subuh baru saja berlalu, dan langit di luar masih berbalut warna abu-abu tua, aku duduk di teras rumah, usai dari Musola. Kupandang ke arah pepohonan yang bergerak pelan diterpa angin.
Pikiran ini tak tenang. Padahal baru saja selesai sholat, dan entah kenapa, ada dorongan kuat untuk membuka ponsel.
Baca juga: Cerpen | Kilas Balik Istidraj, Kilas DepanMungkin karena malam sebelumnya terlalu banyak percakapan di grup WhatsApp yang tertinggal, obrolan tentang dunia politik yang selalu memancing emosi.
Aku terhenyak membaca diskusi panjang yang penuh caci maki, antara mereka yang dahulu satu perjuangan, satu visi, satu impian. Kini, seolah semua itu terhapus hanya karena perbedaan pilihan politik.
Bagaimana bisa kita, yang pernah bersatu dalam semangat membangun masa depan, kini terbelah hanya karena kita berbeda pandangan tentang satu atau dua tokoh?
Percakapan di GWA ini bertolak belakang dengan  Motto yang dicantumkan.
Baca juga: Suatu Ketika di Sebuah Teras*Aku berbicara pada diriku sendiri*, "Bukankah sulit bersikap obyektif saat kita terlalu mengidolakan seseorang? Semua kelebihan dan kekurangannya menjadi satu, namun di mata kita, hanya kelebihannya yang tampak.
Baca juga: Diam di Balik Derap LangkahnyaBagaimana mungkin kita bisa menilai dengan adil jika pandangan kita telah dilumuri oleh rasa suka yang begitu dalam?"
Kukembali ke layar ponsel. Sebuah pesan dari seorang teman lama mencuat, jelas sekali ia tengah marah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar! SOSBUD Â | Â "Di Balik Kegilaan Politik: Ketika Fanatisme Mengaburkan Akal Sehat"