Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Implikasi Politik Luar Negeri Beasiswa Asing

18 Juli 2024   00:50 Diperbarui: 18 Juli 2024   18:03 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shutterstock via kompas.com

oleh: Dik Toko / Soetiyastoko

Negara-negara maju, melalui pemikir-pemikir politik luar negeri-nya, telah lama merekomendasikan pemberian beasiswa kepada anak-anak cerdas dari negara lain yang menjadi sasaran kepentingan politik luar negerinya.

Negara-negara ini sudah sejak lama memikirkan berbagai cara untuk mempertahankan kepentingan mereka di masa depan. Sesuatu yang harus dipersiapkan jauh-jauh hari.

Pemberian beasiswa untuk belajar di negara pemberi beasiswa adalah bagian integral dari pelaksanaan politik luar negeri secara halus.
Cara ini, jika dilihat dari segi biaya, amatlah ekonomis.

Mereka yang diberi beasiswa adalah bagian dari "cream" cerdas dan potensial generasi di suatu negara yang menjadi target sasaran kepentingan jangka menengah dan jangka panjang. Mereka ini dikalkulasi kelak akan menjadi bagian dari kelompok pemimpin di negara tersebut.

Sebagian yang lain diupayakan tidak pulang ke negara asalnya, tetapi dijadikan "anggota kelompok pemikir" alias "think-tank" di negeri pemberi beasiswa.

Pemikiran orang-orang hebat ini, diarahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, demi mempertahankan keunggulan komparatif terhadap negara pesaing.

Belajar di negara pemberi beasiswa, secara langsung atau tidak langsung, membangun kedekatan emosional dan politik seseorang. Ada akulturasi budaya dan cara berpikir maupun berperilaku, sebagaimana yang hidup dan berkembang di negara itu.

Tentu saja, ketika para penerima beasiswa ini tumbuh menjadi kelas menengah ke atas di negaranya, mereka akan merasa ada kecenderungan keberpihakan terhadap negara pemberi beasiswa.

Dalam percaturan politik internasional, para penerima beasiswa di kampus asing ini, tanpa mereka sadari, jadi lebih mudah direkrut menjadi bagian proxy di masa depan.

Sementara itu, pada umumnya para pemimpin negara asal anak-anak yang diberi beasiswa ini umumnya kurang menyadari hal ini.

Contoh Kasus di Indonesia Tahun 1965

Setelah peristiwa kudeta yang gagal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, warga negara Indonesia yang mendapat beasiswa dari Uni Soviet dan negara komunis lainnya dicurigai akan menjadi pembawa ideologi komunis.

Banyak di antara mereka yang ditolak untuk kembali ke Indonesia. Sebagian yang lain takut pulang ke Indonesia karena khawatir akan mendapatkan perlakuan buruk atau dicurigai sebagai simpatisan komunis.

Sebaliknya, di era awal pemerintahan Jenderal Soeharto, banyak mempekerjakan mereka yang sebelumnya menerima pendidikan dari blok barat, Amerika Serikat, dan

Eropa. Misalnya, BJ Habibie, yang belajar di Jerman dan kemudian menjadi salah satu teknokrat terkemuka di Indonesia. Ini adalah contoh bagaimana mereka yang belajar di Barat mendapatkan posisi strategis dalam pemerintahan Orde Baru. Hingga dikenal sebutan sebagai kelompok Harvard yang merujuk pada lulusan-lulusan universitas top di Amerika Serikat yang banyak berperan dalam pemerintahan Soeharto.

Sebagai negara berdaulat, para pemimpin Indonesia harus menyadari hal ini. Sehingga perlu dilakukan pembekalan intens sebelum anak-anak cerdas Indonesia diberangkatkan ke luar negeri untuk belajar.

Demikian pula saat mereka selesai belajar dan pulang ke tanah air. Benih-benih proxy itu harus dinetralkan.

Belajar dengan fasilitas beasiswa dari negara pendonor biaya, bermanfaat untuk menimba ilmu pengetahuan yang bersifat teknis.

Namun, mereka harus "divaksin" agar tetap menjadi pembela nusa dan bangsa, bukan tumbuh menjadi proxy yang tanpa disadari dimanfaatkan negara lain.

Penutup

Sebagai kesimpulan, pemberian beasiswa oleh negara-negara maju bukan hanya sekadar bantuan pendidikan, tetapi juga merupakan bagian dari strategi politik luar negeri jangka panjang mereka.

Indonesia, sebagai negara berdaulat, harus menyadari dinamika ini dan mempersiapkan generasi mudanya untuk tetap loyal kepada bangsa dan negara, meskipun belajar di luar negeri.

---

Bumi Puspita Asri, Pagedangan, Kab.Tangerang, Rabu 17 Juli 2024

Dik Toko
Dik Toko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun