Terbaca sinyalemen ada indikator yang menyebut bahwa kualitas keilmuan peserta didik dimasa pandemi "mengandung cacat pabrik". Sementara ada yang menyebut pembelajar di masa itu adalah pembelajar hebat dan lebih mandiri.
Kita perlu penelitian mendalam terhadap dua sinyalemen di atas. Bisa jadi keduanya memang terjadi, sebab adanya kesenjangan-kesenjangan sosial ekonomi & psikologis yang tajam, logis jika membuahkan hasil akhir yang berbeda.
Semoga para pakar bidang pembelajaran banyak yang berkenan meneliti hal ini. Hasilnya tentu sangat bermanfaat untuk dasar pertimbangan dalam perencanaan pembelajaran yang lebih efektif. Disesuaikan dengan kondisi obyektif yang ada diberbagai strata sosial-ekonomi dan pendidikan.
Termasuk menyiapkan semua orangtua murid dalam pendampingan proses belajar anak-anaknya. Perlu dibuatkan modulnya dan setiap orangtua murid diwajibkan menguasainya.
Tentu modulnya, harus dibuat berbeda bagi setiap keloompok orangtua sesuai dengan tingkat pendidikannya. Meskipun tujuan akhirnya sama : menjadikan pendamping belajar yang kapabel bagi anak-anaknya.
Dengan kata lain, menjadikannya "coach". Bukan menggantikan atau menyamai fungsi guru.
Seorang orangtua harus mampu menjadi pendorong bin motivator alias pendamping proses belajar yang efektif, tanpa harus jadi ahli matematika atau kimia, misalnya.
"Coach" itu bukan trainer, juga bukan guru ; tetapi lebih ke arah motivator, pemicu ketetapan hati atau determinasi. Itulah fungsi utama dari peran "pendampingan" bin "Coaching"
Dengan demikian dapat dilakukan pendekatan yang sesuai dengan kondisi peserta pembelajaran. Customize atau tailoring.
Mengajarkan atau melatih berenang pada anak yang kesehariannya bermain di sungai, tentu beda dengan yang biasa dengan laut. Apalagi terhadap anak yang tak kenal keduanya maupun kolam renang.
Semoga menjadi perhatian kita semua, demi menuju cita-cita Indonesia emas 2045. Berwarga negara cerdas-berilmu dan berakhlak mulia,
Aamiin Yaa Allah, aamiin, ...
***