"Bang, bang, ... yang seperti itu; bukan-lah sebagai hasil ibadah, tetapi
semata-mata karunia
dan rahmat Allah". Kali ini ada mutiara cair di sudut matanya.
"Bang, ... Maka orang-orang saleh yang sedang berusaha menuju ke alam nur, ...
Mereka terus berjuang dan memohon agar bisa tetap lurus menggapai ridho Allah" , aku hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Dalam hatiku, aku terus berdzikir untuk kebaikan ayah-ku.
"Sedangkan
yang telah sampai
di haribaan-Nya, ...", nafasnya tertahan, ....
"Bang, mereka adalah orang-orang yang sungguh beruntung. Mereka berkecimpung
di dalam telaga cahaya petunjuk, ..."
Kupandangi wajah ayah, kepalanya disangga dua bantal, di atas satu guling
Beliau berhenti bicara, matanya menyapu sudut-sudut kamar. Dihelanya empat kali nafas panjang, dihembuskan pelan-pelan. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu, ...
Lalu mulai berkata lagi,
"Sebab orang yang keyakinan-nya telah sampai di haribaan Allah itu, ... Mereka telah bersih darisegala sesuatu selain Allah, ... Ayah masih jauh dari keadaan itu, ...." , matanya mencari sesuatu di mata-ku.
"Bang, .... didiklah anak-anak-mu, jadikan manusia yang soleh, ... Syukur bila semua jadi penghafal dan pelaksana firman-Nya, ...". Matanya pelan-pelan terpejam dan terdengar seperti ter-isak, menangis.
Aku jadi ingat kalimat ayah beberapa minggu yang lalu, saat kami bicara di teras depan, usai beliau memotong rumput dan menambahkan pupuk kandang di pot-pot bunga, kesayangan ibu-ku.
Kukira itu sebagian cara ayah, untuk menyenangkan hati ibu.