"Maaf, Cep Joko, Ibu sedang kebelet. Ibu dulu yaa yang ke kamar mandi, ... !"
Belum sempat kujawab, dia sudah masuk bilik mandi dan mulai "ngebom!". Kamu bisa bayangkan, gas buang itu terhirup hidungku. Wouw ! Anggap saja rejeki pagi.
Tali timba bekas ban tronton itu masih kutarik tapi airnya tak kumasukan bak. Kugunakan untuk sikat gigi lalu cuci muka dan pergi.
Terdengar si Ibu teriak-teriak minta diisikan bak mandi. Dia mungkin mau membersihkan diri dan menggelontorkan "bom pagi" nya.
Aku tak bisa menolongnya, aku tak mau terlambat kuliah. Tanpa berganti pakaian yang semalam kupakai tidur, langsung jalan setengah berlari.
Bau, dong bajunya ?! Tidak, Tante dan Oom. Ini di Bandung utara, terlalu dingin untuk tidur berkeringat.
-oo0oo-
Ruang C kampus Dipati Ukur 35 sudah penuh sesak mahasiswa dengan wajah-wajah fresh lulusan SMA. Perempuan hampir semua bersolek cantik, dan yang gundul-gundul pasti laki-laki. Termasuk aku.
Ada muka-muka lama yang berambut gondrong, mereka mengulang kuliah. Mungkin memang tidak lulus  saat ujian atau modus mendekati bidadari-bidari segar.
Susunan bangku Ruang Kelas C, sama dengan bioskop. Lantainya tinggi di bagian belakang. Bedanya bangkunya panjang-panjang, lebih panjang dari bangku warung roti bakar di gang samping gedung RRI Bandung. Tempat para aktivis nongkrong mengkritisi apa saja.
Aku lebih suka duduk di deretan ketiga  atau keempat. Sebab jika duduk dideret pertama, kepala harus selalu "ndangak" saat memperhatikan pak dosen mengajar. Wira-wiri jalan di atas panggung semen. Yaa, di bagian depan kelas ruang C mirip panggung, ada mimbar jati kokoh. Mirip yang biasa ada di masjid.
Hari itu, aku terpaksa duduk di bangku terdepan. Yaa yaa, kini kualami sendiri hujan lokal dari mulut Pak Dosen yang gondrong mirip pemain band Rhapsodia. Tapi beliau berkumis dan berjenggot panjang tapi jarang. Tipis, kata Hadi, kawanku yang hidungnya paling mancung dikelasku.