Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

P0litik | Proyeksi Gaya Pemerintahan Indonesia Usai Pemilu 2024

3 Mei 2023   01:06 Diperbarui: 3 Mei 2023   01:10 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

POLITIK  |  PROYEKSI GAYA PEMERINTAHAN USAI PEMILU 2024

Soetiyastoko

Sejak era reformasi, gaya pemerintahan Indonesia berbeda dengan era orde lama maupun orde baru.

Era keterbukaan informasi dan pragmatisme politik. Termasuk kebebasan mendirikan partai politik serta landasan ideologi yang seragam, Pancasila. Maka sebagai pembeda antar partai politik, bukanlah sesuatu yang esensial. Namun harus dilihat dari kapasitas menejerial dan integritas tokoh-tokoh elit-nya.

Paragraf di atas bisa saja disanggah, namun realitas cair-nya hubungan antar partai politik, dalam membangun koalisi menegaskan hal itu.

Termasuk begitu mudahnya kader berpindah partai. Mirip keluar masuk pasar, bebas, tak ada etika-norma atau aturan yang bisa dipersepsi sebagai pelanggaran berpolitik praktis.

Tak ada pembeda yang nyata antar partai, meskipun ada yang mengklaim dirinya sebagai partai yang condong dekat dengan agama,  nasionalis, demokrat, populis atau apapun yang mereka klaim.

Nama atau pun sebutan partai tidak otomatis sebagai "gaya hidup dan idealisme perjuangan partai"

Kini situasi kehidupan partai politik nyata, tampak amat pragmatis dan oportunistik.

Etika dan moralitas berpolitik, boleh jadi, kini hanya penghias bibir belaka. Demikian pula slogan yang menyatakan membela rakyat kecil, tak sepenuhnya bisa dijalankan dengan maksimal.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya politisi, pejabat publik yang terlibat kasus korupsi. Lengkap dengan peragaan para politisi mantan terpidana korupsi, kembali tampil ke percaturan politik. Tanpa rasa malu. Termasuk gaya hidup hedon

Politik praktis kini amat tegas, sebagaian jadi sarana mencapai kepentingan - kepentingan pribadi dan kelompok.

Kalimat di atas, BUKAN berarti sudah tak ada lagi politikus tulus, yang sungguh - sungguh berjuang untuk Rakyat-nya.

Masih ada pribadi - pribadi hebat yang "tak bisa dibeli" , namun terpaksa berbagi "kue kekuasaan" dengan para pemburu kepentingan pribadi dan kelompok yang dengan lantang, selalu berseru "demi kesejahteraan Rakyat"

Bagaimana konstruksi pemerintahan Indonesia kedepan ?

Banyaknya jumlah partai peserta pemilu dan dari survei - survei yang ada, tidak terbaca akan ada partai yang dapat memenangi 50 + 1 % suara dalam pemilu 2024.

Kondisi di atas akan memaksa dibentuknya koalisi, untuk bisa mendirikan pemerintahan yang stabil dan tahan terhadap gangguan oposisi.

Ambang batas parlemen, adalah konstruksi yang pantas, agar keriuhan di DPR, bisa lebih efektif.

Koalisi besar, seperti yang kini dijalankan Presiden Joko Widodo, adalah model atau pola yang dibutuhkan bagi kepemimpinan usai pemilu 2024. Agar pemerintahan  stabil dan dapat bekerja dengan tenang.

Di sisi lain, koalisi besar mengakibatkan distribusi kekuasaan dan kepentingan-kepentingan melebar. Ini tantangan tersendiri bagi presiden, selaku "komandan kabinet" pemerintahan.
Sebuah kondisi yang membuat fokus pemerintahan tak mudah dicapai.

Keadaan di atas memposisikan Presiden sebagai dirigen -yang- tidak mudah & tidak leluasa mengemudikan negara, sebagaimana janji-janji kampanye-nya.

Presiden harus "memberi ruang lebar" kepada menteri yang berasal dari partai. Meski ditandai dengan tegas, "tidak ada visi dan misi menteri, hanya ada visi dan visi presiden".

Meskipun seorang menteri diangkat dan diberhentikan oleh seorang Presiden, termasuk harus konsisten menjalankan visi dan misi Presiden. Tidak bisa dipungkiri, menteri dari partai koalisi juga menjalankan "sekian persen: kepentingan-kepentingan partai penyodornya" dan "sponsor" atau pemodal yang mendudukannya .

Ini sesuatu yang sulit, bahkan tidak bisa di-elak-kan; terutama saat didampingkan dengan idealisme presiden. Selaku kepala negara dan pemimpin pemerintahan.

Kini dengan jumlah partai politik yang banyak, serta tidak ada yang amat dominan, maka situasi seperti di atas niscaya akan berulang. Sebagai gaya pemerintah pasca pemilu 2024.

Sekali lagi, kecuali bila ada satu partai politik yang dominan di DPR. Dengan jumlah legislator lebih dari 50 persen. Termasuk memenangkan kursi presiden.

Jika presiden terpilih, tidak didukung oleh jumlah anggota DPR yang memadai atau di atas 50%, tidak akan mudah jalannya pemerintahan.

Situasi akan menjadi buruk jika pemerintahan hanya didukung sebagian kecil partai dan perwakilan di legislatif.

Mau tidak mau harus berkoalisi dengan partai lain. Agar memiliki kekuatan signifikan di DPR, sehingga pemerintahan tidak rentan kala direcoki oposisi dan bisa efektif.

Siapapun kelak individu yang terpilih sebagai presiden, harus punya skill menejerial yang kuat. Tidak sekedar jadi kuli pemotong kekuasaan, bagi-bagi peluang sumber uang.

Harus mampu mengelola koalisi, tidak asal-asalan menerima calon  menteri. Harus mampu berbagi kepentingan, tanpa terlalu banyak memberikan konsesi kepada partai dan menteri ke arah yang tidak dikehendaki.

Presiden terpilih harus punya nyali besar untuk mengganti menteri yang kurang kapabel, atau yang terlalu vulgar memperjuangkan kepentingannya diri dan kelompoknya sendiri.

Menurut ilmu politik, termasuk harus menghadapi proxy war  yang  dilancarkan dan dibiayai pihak asing, kolaborasi dengan oknum atau organisasi lokal yang berjuang untuk kepentingan sendiri dan abaikan kepentingan negara dan bangsanya.

Bila presiden terpilih hanya karena mengandalkan popularitas belaka, nasib negeri ini taruhannya. Indonesia untuk maju, butuh presiden keahlian menejerial dan langkah politik yang mumpuni. Punya  nyali besar.

Kini, partai politik sudah seharusnya mengajukan kandidat yang berpengalaman menejerial, sukses memimpin bisnis ataupun politik. Tidak asal populer.

Idealnya tujuan Pemilu adalah, memuncukan kandidat dengan rekam jejak hebat dalam memimpin. Bukan sekedar berpengalaman sukses berpolitik demi jabatan semata, sekedar pintar ngomong dan memenangkan pemilu.

Berkaca pada pola promosi pimpinan dikalangan bisnis, memilih dan mengangkat seorang supervisor atau menejer, harus dengan rekam jejak menejerial yang kuat dan prestasi produktivitas yang baik. 

Bukan yang hanya pandai memberi layanan bibir belaka. Lips service only.

Halo, para petinggi partai, ajukan calon-mu yang berkualitas ! Kriteriamu mestinya, bukan sekedar populer di Survey.

Demi Rakyat & Bangsa, kalian partai politik, tak pantas hanya berkriteria berdasarkan survei popularitas belaka. Hanya mementingkan popularitas kandidat presiden. Hanya mementingkan peluang menang !

(Celetukan di Warung Tegal, jaman berganti, dulu musik dasar penciptaan tarian, kini tarian jadi dasar penciptaan musik !)

***

Bumi Puspita Asri, Pagedangan, BSD, Rabu 3 Mei 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun