Lalu apa gunanya, mengingat-ingat-ku, merindukan diriku , hingga kini ?
Apa tak terbaca oleh-mu, perasaanku di mataku, di senyumku, disikapku, dinada suara-ku.
Kau sungguh menyiksa-ku dengan iming-iming harapan, tapi tak kunjung kau berikan.
Bukankah dirimu sungguh mengharapkan-ku ? Mengapa tak kunjung kau ikrar-kan ? Tak jua kau proklamasikan kepada-ku ?
Andai saja kau berani nekad pamit pulang dari rumahku lewat malam, mungkin pak hansip yang berjaga, berkenan memaksamu menikahiku.
Tapi kau terlalu sopan untuk membuatku melakukan yang begitu. Bahkan kau tak pernah menyentuhku ! Namun justru itu kehebatan-mu yang kusuka.
Aku jadi ingat yang dulu-dulu, kenangan di sudut ruang tamu. Termasuk menunggu sesatu akan kau lakukan di bawah pohon mangga. Yaa ! Lambai-an tangan dan senyum, sebelum menderu  di atas tunggangan. Tinggalkan-ku.
Aah  kamu ! Jangan ulangj lagi kalimat yang membuatku malu tersedu dikamarku, kau bilang pada teman kita, 'Takut kutolak dan membuatku tak mau lagj berteman dengan-mu"
Mestinya dikau sudah tak punya rasa takut itu. Bukankan hampir tiap kau berkunjung ke rumah-ku, aku selalu me nyambut-mu full senyum dan segala riang manja-ku.
Mungkinkah aku berbohong dengan semua spontanitas-ku itu ? Aku perempuan, tak patut melesatkan anak panah. Mestinya, kamu yang menarik tali busur dan melepaskannya penuh mesra.
Tapi semua itu telah jadi penantian yang sia-sia.