Puisi  | Sadar: Tak Patut Iri
Soetiyastoko
Berakhir sementara
kejaran malam telah sampai ke ujung fajar
Mimpi pun terkesiap
tiba-tiba
Tak ada yang bisa diingat
untuk diceritakan
Tertatih menuju tungku
jerangkan air
untuk sebulir cerita
perjalanan hari ini
Anak-mu tak terberitakan
kabar pun simpang siur
Konon kabur dari siksa algojo kapal tanker, ...
Ada yang bilang ditelan ikan hiu
Saat mengelas lambung kapal
yang terobek karang.
Duh !
Entah apa yang sebenarnya terjadi ?
Yang
pasti
bukan sedang rekreasi
Tak ada media yang peduli
tak ada yang mencari-cari-kan:
secuir daging
atau
sepotong tulang
anak-mu
Karena kau bukan sesiapa
bukan siapa-siapa
Hanya penjerang air
ber-anak-kan
pelaut,
tanpa ijazah,
yang
bermodal
piawai menyambung lembaran besi
(itu-pun belajar sendiri, saat membantu tetangga,
sang pembuat keranda)
Dan ...
Kau, hebat, ...
begitu kuat
menekan iri
Saat melihat-mendengar
berita di televisi
tetangga
Siaran itu
heboh di-ulang-ulang
diberitakan:
tenggelam saat bersenang-senang
di jernihnya sungai
(Ada sama-nya, ada  beda-nya, antara anak-nya politisi hebat, dengan anak penjerang air. Ber-tungku tanah. Tak ada lantai semen, apalagi kilau keramik di istana-nya)
Dia sadar,
tak patut
iri
tak bisa ikut
mencari
mayit anak sendiri
***
Pagedangan - Â BSD, Jumat 10 Juni 2022. Setiap yang bernafas, pasti akan mati. Hanya Dia yang tahu tempat, sebab dan tanggal-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H