Fasilitas itu juga tidak ada. Mereka tidak tahu, selama ini yang mengontak atau mengusahakan pinjaman perlengkapan itu, siapa.
Hanya sedikit bisik-bisik, diantara mereka. Kerandanya darurat terbuat dari bambu segar. Ditutup kain batik usang.
Biasanya berkeranda besi atau aluminium. Minimal rangkaian baja ringan. Lalu dikerudungkan kain bludru berwarna hijau, berbordir benang emas. Membentuk huruf-huruf hijaiyah, lafaz kalimat tauhid. Di lengkapi nama kampung itu.
Kampung ini memang sisa dari hasil pemekaran RW. Semula satu kesatuan yang saling melengkapi. Kini terpecah jadi 3 RW.
Dua RW bahkan kini masuk ke kotamadya baru. Sedang kampung ini tetap jadi bagian Kabupaten.
Jadi kampung yang tak punya tempat ibadah sendiri, tidak punya fasilitas umum, kecuali gang-gang sempit. Tidak semua gang bisa dilewati ojek motor.
Sebetulnya ini, bukan gejala aneh di negeri tercinta ini.
Pemekaran daerah lebih sering terbaca bahwa diinisiasi oleh bagian wilayah yang surplus PAD, pendapatan asli daerah-nya.
Sedangkan wilayah yang tersisa biasanya minus. Jangan ditanya, apakah ini egoisme wilayah atau sekedar membuka peluang jabatan-jabatan baru. Pengamat politik  menyebut, bahwa hal ini hanya membuka peluang korupsi baru, dibanding efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.
Ada yang tidak berubah di kampung padat penduduk ini, tetap jadi wilayah perebutan suara. Saat pemilu.
Janji-janji politik palsu, itu aman saja berlalu. Warga kampung ini tak cukup punya biaya untuk menuntut.
Kesejahteraan warga kampung, pada akhirnya hanya jadi tanggung jawab mereka sendiri. Tak ada warga kampung lain yang peduli. Termasuk perumahan baru yang isinya orang-orang kaya itu.