Saat itu, aku hanya ingin belajar kelompok cepat bubar. Aku makin tak suka melihat Warsini duduk dekat-dekat Warsono.
"Wadi-arini Anya, aku pamit pulang, yaa, ... "
"Wadi-arini Anya, terima kasih jamuannya, yaa, ..."
Satu-satu, mereka pamit dengan caranya sendiri.
Terakhir, Warsono berucap, "Wad ! Maturnuwun, bakpau-nya enak" . Aku tak suka mendengarnya. Bukan karena suaranya yang "nge-bass" atau Warsini yang gelendotan.
Tapi karena dia menyebutku, "Wad !" , mending kalau aku anggota Kowad. Aku jadi ingat ibu dan bapak-ku tak ijinkan-ku jadi tentara.
***
Malam-malam ada yang mengetuk pintu. Tak biasa ada tamu. Pintu itu tinggi dan besar, di depannya tempat tukang soto madura memasak. Meladeni pelanggannya.
Tak ada yang membukakan pintu. Pembantu kami biasanya yang terlebih dulu menemui, menseleksi tamu. Kami tak biasa menerima tamu, setelah senja berlalu.
Para sahabat dan rekan ayah-ibuku, sudah maklum atas sikap kami. Mereka sengaja telah diberitahu. Termasuk teman-teman sekota-ku.
Pintu itu masih terdengar diketuk, Pak Tiarum, bos soto madura itu mengucapkan salam dan menyebut kata, sebuah nama. Tapi tak cukup jelas di telingaku.