Aku tidak bisa beralasan, karenanya. Tapi aku selalu ingat pesan-pesanmu, nasehatmu. Dikau bukan siapa-siapaku, terima kasih, tak pernah bosan menyemangatiku. Seorang tukang obat yang rutin mengunjungimu.
Semoga Sang Pemberi Rahmat dan Pengampun, merahmati dan mengampunimu.
Pakde, dikau orang baik, bekerja dihari tua, katamu bukan mencari uang. Tetapi sekedar mencari aktivitas dan tetap sehat. Dan yang paling penting, "Bisa ketemu orang seperti kamu, mau 'nanggap', mendengar ocehanku". Kalimat itu diucapkannya, selaya merangkulku.
"Ayo, temani aku, cari bubur sumsum", Â ajaknya. "Nih kuncinya, kamu yang nyetir". Scutter-ku kutitipkan dulu ke Satpam Apotik.
Mobil itu terasa amat perkasa dan tinggi. Hasil modifikasi. Gagahnya seakan menular ke jiwa-raga ku. Jadi sedikit agak arogan.
Kendaraan-kendaraan kecil menghindar, demi mendengar raung beringas suara mesinnya. Sekali waktu, kutekan klaksonnya. Garang, persis bel kapal laut. Mudah-mudahan tidak ada yang "jantungan" terkaget-kaget.
***
Sekian tahun lalu telah berkelebat. Jika saat itu aku anak muda yang belum berani menyatakan cinta. Kini kukendarai mobil yang serupa, meski aku tak setegap dulu, ....Â
Benar kata Pakde, keperkasaannya terasa dan menular, walau hanya sebuah mobil tua. Langganan bengkel, tapi pajaknya murah-meriah.
Cucuku suka raungan suaranya. Dia gembira disampingku, hari ini berkeliling kota Bandung. Menghitung plat nomer mobil , adalah permainannya. Ternyata hari ini yang ber plat B jauh lebih banyak di kota ini. Itu kata cucuku.
Cerita Bandung memang beda dengan BSD-Tangerang. Kampungku sekarang.