Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pekerja Domestik, Kemewahannya Orang Kaya

14 November 2021   04:25 Diperbarui: 14 November 2021   06:39 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Soetiyastoko

Mempekerjakan orang di sebuah keluarga, hingga kini dipandang sebagai penanda kesuksesan finansial. Sekaligus menaikan status sosial keluarga tersebut.

"Dia orang kaya, ...punya babu, punya pembantu, punya asisten rumah tangga". Adalah sekedar sebutan yang "dihaluskan" berganti baju. Maknanya sama.

Apalagi jika orang kaya itu, mampu mempekerjakan banyak orang untuk berbagai jenis urusan keluarga. Pekerjaan mencuci dan membereskan rumah satu orang. Memasak dan belanja, tersendiri. Ngurus dan jaga anak. Tukang kebun mengurusi taman. Adalagi, sopir dan pengurus hewan peliharaan.

Bila sudah sebanyak itu yang dipekerjakan sebuah keluarga. Tentu keluarga tersebut, pendapatannya sudah amat besar. Kaya raya.

Tidak ada yang salah dan sah-sah saja mempekerjakan orang, untuk tugas domestik. Syukur, bila  memberi gaji yang memadai, minimal sesuai standar upah minimum regional /UMR. Disamping memperhatikan maksimal jam kerja harian dan memberi waktu istirahat.

Termasuk hak untuk libur, seminggu minimal 1 hari.

Itu kondisi yang tidak berlebihan, ideal dan pantas.

Namun apakah kenyataannya  banyak majikan yang memperlakukan pembantu seperti itu, atau justru amat jarang ?

Pekerja domestik beruntung jika mendapatkan majikan punya rasa  empati dan memperlakukannya secara manusiawi. Termasuk tenggang rasa.

Majikan beruntung jika mendapatkan pembantu atau asisten rumah tangga yang pintar, rajin, jekatan, jujur, .... Mau dibayar murah.

Pekerja domestik, sama sekali tidak punya posisi tawar. No bargaining position.

Sesungguhnya, tidak ada orang yang bercita-cita jadi pembantu rumah tangga, sopir keluarga, pengasuh bayi, perawat orang tua disebuah keluarga.

Namun ketidakberdayaan ekonomi dan minimnya pendidikan yang, memaksa dirinya mencari pekerjaan seperti itu.

Dari sisi usia, para pekerja domestik ini amat beragam. Bahkan ada yang belum masuk usia remaja. Hingga yang sudah amat tua. 

Usia yang dilingkungan kerja formal sudah pensiun. Seharusnya tinggal menikmati usia senja bersama keluarga.

Bagaimana perlindungan hukum bagi para pekerja domestik ?. Sulit untuk memastikan bahwa perlindungan itu  dilaksanakan dan dipatuhi pemberi kerja.

Tindakan hukum terhadap majikan yang melakukan pelanggaran, hanya bisa terjadi bila ada pengaduan.

Selain itu, sulit untuk dipantau.

Pelanggaran jumlah jam kerja, gaji minim, perlakuan verbal yang kasar dan kekerasan fisik adalah yang sering dilaporkan media.

Tulisan ini, tidak bermaksud menunjuk kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan para majikan.

Namun lebih untuk menghimbau para pemberi kerja. Dengan kata lain, agar penikmat jasa pekerja domestik; berlaku patut dan pantas.

Tidak bisa dibayangkan, betapa repotnya, jika tiba-tiba para asisten rumah tangga itu tidak ada.

Jika peristiwa itu terjadi, sungguh terasa peran mereka dalam sebuah keluarga.

Siapa yang akan menjaga balita di rumah, yang mengantar-jemput anak sekolah. Memasak, mencuci pakaian, memijat.

Sementara itu keluarga para pekerja domestik itu di kampung berharap-harap cemas. Merindukan ibu, bapak, anak atau nenek yang bekerja sebagai pembantu di kota.

Hanya sekedar untuk menyambung hidup.

Apa yang bisa kita rasakan, ketika menyaksikan seorang babby sitter menggendong anak majikan di restoran. Sementara keluarga itu ketawa-ketiwi menikmati enaknya makanan. Dia baru bisa makan dan meredakan haus, nanti di rumah.

Demikian pula sopirnya, yang mau tidak mau, menunggu di tempat parkir pengap. Parkiran basement sebuah mall.

Orang-orang miskin terpaksa  bekerja di lingkungan keluarga. Seharusnya mulai dipikirkan perlindungan hak-hak pribadinya. Tidak hanya dalam peraturan dan undang-undang, harus ada prosedur standar operasional di tingkat RT-RW. Hingga desa/kelurahan.

Penulis tawarkan alternatif untuk memantau, sekaligus memberi waktu pribadi, di setiap lingkungan Rukun Tetangga/RT dan Rukun Warga/RW, mereka harus didata dan dipantau.

Mereka setiap satu minggu diberi kesempatan bertemu dan berkumpul sesamanya. Sekitar 30 menit hingga 1 jam. Setelah itu  dibebaskan menikmati "me time" nya.

Diantara mereka dipilih dan ditetapkan koordinator, untuk waktu tertentu. Bergilir Melaporkan kepada ketua RT/RW, bila ada yang tidak hadir.

Dengan demikian dapat di cek kondisinya, termasuk apakah hak-haknya dari sang majikan sudah diterima.

Cara di atas juga mencegah terjadinya perlakuan semena-mena dari majikan.

Pekerja domestik, kemewahannya orang kaya. Harus dijaga dan dilindungi. Mereka adalah anak bangsa yang belum mendapatkan keberuntungan  untuk dapat bekerja di lingkungan formal, non domestik.

Assisten rumah tangga, ART, seringkali mendapat perlakuan yang berbeda dengan yang didapat oleh mobil mewah boss-nya. 

Mobil-mobil itu lebih banyak istirahatnya, dibanding seorang pembantu.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun