Tidak bisa dibayangkan, betapa repotnya, jika tiba-tiba para asisten rumah tangga itu tidak ada.
Jika peristiwa itu terjadi, sungguh terasa peran mereka dalam sebuah keluarga.
Siapa yang akan menjaga balita di rumah, yang mengantar-jemput anak sekolah. Memasak, mencuci pakaian, memijat.
Sementara itu keluarga para pekerja domestik itu di kampung berharap-harap cemas. Merindukan ibu, bapak, anak atau nenek yang bekerja sebagai pembantu di kota.
Hanya sekedar untuk menyambung hidup.
Apa yang bisa kita rasakan, ketika menyaksikan seorang babby sitter menggendong anak majikan di restoran. Sementara keluarga itu ketawa-ketiwi menikmati enaknya makanan. Dia baru bisa makan dan meredakan haus, nanti di rumah.
Demikian pula sopirnya, yang mau tidak mau, menunggu di tempat parkir pengap. Parkiran basement sebuah mall.
Orang-orang miskin terpaksa bekerja di lingkungan keluarga. Seharusnya mulai dipikirkan perlindungan hak-hak pribadinya. Tidak hanya dalam peraturan dan undang-undang, harus ada prosedur standar operasional di tingkat RT-RW. Hingga desa/kelurahan.
Penulis tawarkan alternatif untuk memantau, sekaligus memberi waktu pribadi, di setiap lingkungan Rukun Tetangga/RT dan Rukun Warga/RW, mereka harus didata dan dipantau.
Mereka setiap satu minggu diberi kesempatan bertemu dan berkumpul sesamanya. Sekitar 30 menit hingga 1 jam. Setelah itu dibebaskan menikmati "me time" nya.
Diantara mereka dipilih dan ditetapkan koordinator, untuk waktu tertentu. Bergilir Melaporkan kepada ketua RT/RW, bila ada yang tidak hadir.