Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Feodalisme Profesi sebagai Penghambat Aktualisasi Potensi Bangsa

12 November 2021   02:03 Diperbarui: 12 November 2021   02:07 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Feodalisme Profesi Sebagai Penghambat Aktualisasi Potensi Bangsa

Oleh : Soetiyastoko

Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa pekerjaan menjual umumnya bukan pekerjaan yang bisa dibanggakan. Anggapan yang sama juga terjadi terhadap beberapa profesi lainnya.

Profesi menjual, salesman-salesgirl, seringkali adalah pilihan pekerjaan terakhir, saat gagal mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

Pekerjaan menjual sering dianggap pekerjaan yang amat berat dan sulit. Menjual rumah, menjual mobil, menjual barang mewah, dianggap sama sulitnya dengan menjual rongsokan barang-barang bekas. Walaupun khalayak tahu, bahwa penjual adalah aktor penting dalam industri apapun.

Anggapan yang lebih buruk terjadi terhadap tukang pembuang sampah. Padahal tanpa mereka, apa jadinya sebuah lingkungan. Busuk dan kotor, tentu. Namun, mengapa kebanyakan dari kita, menganggap rendah pekerjaan ini.

Feodalisme profesi masih amat melekat dimasyarakat kita.

Profesi masih dibeda-bedakan penghargaannya. Dengan gap, deviasi yang menganga lebar.

Sikap ini, tanpa disadari, telah menghambat aktualisasi potensi pribadi pada profesi-profesi. Termasuk pengembangan teknis profesi yang terkait.

Dalam sebuah tayangan televisi, diperlihatkan kehidupan seorang pengangkut-pembuang sampah di Inggris.

Aktivitas kesehariannya di videokan. Mulai dari sebelum matahari terbit, mengendarai truk sampah yang tampak amat terawat dan bersih.

Setiap beberapa meter dihentikannya truk itu, di depan rumah warga. Dia angkat kantong-kantong sampah yang terbungkus rapi dalam kantong plastik hitam, dinaikkan ke truk besar itu.

Tidak ada yang berhamburan.

Sampah-sampah, itu pun dibawa ke tempat pengolahan limbah. Di sana dia bertemu dengan para petugas pembuangan sampah lainnya. Semuanya tampak bersih dan rapi.

Usai tayangan pelaksanaan kerja sehari-hari sebagai pembuang sampah, dilanjutkan tentang kehidupan pribadinya.

Sebuah keluarga yang terlihat bahagia, berkecukupan dan percaya diri.

Dia tinggal bersama istri dan anak-anaknya dirumah yang cukup representatif.

Jauh dari kesan kumal dan kumuh. Lingkungannya pun baik. Tertata rapi.

Dikesempatan berikutnya, keluarga tukang sampah itu tampak ceria didalam mobil pribadinya. Menuju tempat rekreasi.

Dua profesi, tukang sampah di negeri maju dan penjual, sales di negara kita sendiri. Sengaja penulis sandingkan, untuk mendapatkan perspektif pandangan yang berbeda dan lebih luas horizon-nya.

Suatu lingkungan sosial, memiliki cara pandang yang bisa saja spesifik dan berbeda terhadap suatu profesi.

Termasuk cara menghargainya. Semangat persamaan derajat, memang berbeda dengan semangat feodalistik.

Pembedaan status sosial, masa kini lebih ditandai oleh perbedaan penguasaan materi.

Jabatan dan profesi adalah pembeda berikutnya.

Lalu bagaimana dengan status pendidikan, adakah pengaruhnya terhadap status sosial di Indonesia ?

Tetap ada pengaruhnya, namun tidak cukup berarti. Tidak signifikan.

Kecuali, bila tingkat pendidikan telah mengantarkan seseorang pada status ekonomi yang baik.

Paragraf di atas, tidak dalam rangka menyebut atau menyimpulkan bahwa pendidikan tidak penting.

Ini amat berbeda, kala disebut bahwa ada beberapa artis yang  sukses besar dalam mengumpulkan materi. Walau secara pendidikan formalnya tidak sampai jenjang sarjana. Itu soal lain, soal profesionalitas dalam berkesenian.

Namun, tidak bisa dibantah; harta kekayaannya, telah menempatkan dirinya pada status sosial yang tinggi. Disamping popularitas. Bahkan bisa dijadikan modal untuk mendapatkan jabatan politik.

Kembali pada soal penghargaan terhadap profesi dan hubungannya dengan pengoptimalan produktivitas bangsa.

Ini adalah titik rawan dalam membangun kehidupan sosial yang lebih baik.

Feodalisme profesi, juga telah memicu terjadinya praktek seleksi tenaga kerja yang tidak fair dan koruptif.

Termasuk jual beli jabatan politik, publik dan aparatur negara, sogok-menyogok dan munculnya istilah "orang dalam" .

Orang yang melakukan praktek nepotisme dalam perekrutan   "orang baru".

Hal-hal yang disebut sudah seharusnya menjadi perhatian bersama, Dan harus di atasi segera dan dengan sistematis. Demi menjauhkan potensi timbulnya pertentangan kelas, dikemudian hari.

Diperlukan kemauan politik untuk mengatasi isu ini.

Salah satunya dengan memperpendek perbedaan pendapatan, antar profesi dan jenjang struktural jabatan.

Dengan demikian feodalisme profesi dapat dikurangi, sementara itu diharapkan dapat meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lapisan masyarakat di tingkat bawah.

Tidak perlu mayoritas warga negara menjadi sarjana, tetapi seluruh warga negara harus sejahtera dan bahagia.

Apapun profesinya, semua terhormat. Sepanjang dikerjakan dengan penuh tanggung jawab dan bermanfaat bagi sesama.

Dalam kaitan masalah di atas, sumbangsih apa yang akan pembaca lakukan ?

Terima kasih, telah ikut memikirkannys. Semoga akan banyak tindakan nyata yang dilakukan.

Minimal, hargai dan hormati profesi apapun yang tengah ditekuni. Caranya mudah, kerjakan dengan baik dan sepenuh hati. Anda orang tehormat, apapun bidang-mu.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun