Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sebuah Dilema Merantaukan Anak untuk Menuntut Ilmu

28 Oktober 2021   01:24 Diperbarui: 30 Oktober 2021   12:45 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pergi merantau. (DOK KOMPAS/SUPRIYANTO)

Menuntut ilmu, adalah sebagian dari upaya untuk mencapai kebijakan prilaku, "mempersenjatai" diri agar dapat mencari nafkah yang halal, serta mampu bersosialisasi dengan baik, dikemudian hari.

Sementara itu, sebagian agama konon, menyatakan bahwa, belajar, adalah aktivitas yang harus dilakukan seumur hidup.

Alasannya antara lain, bahwa, setiap fase kehidupan, harus dihadapi dan dijalani dengan pengetahuan yang spesifik.

Setiap situasi dan kondisi, diperlukan manual book, buku pegangan tersendiri. Ada standart operational procedure - SOP tersendiri.

Orangtua yang waras maupun yang penjahat besar, tentu menginginkan kehidupan anak-anaknya kelak menjadi lebih baik. Sedapat mungkin di atas capaiannya sendiri.

Lebih baik dalam banyak hal. Menyekolahkan anak, adalah salah satu upaya orang tua. Membekali ilmu, sesuatu yang dipercaya tidak akan hilang dan tidak bisa dicuri orang.

Tokoh-tokoh besar negeri ini, mereka berilmu, tentu saja pada awalnya adalah dorongan orangtua.

Mereka pergi dirantaukan orang tuanya. Dari pelosok daerah ke kota besar. Bahkan dikirim keluar pulau, hingga keluar negeri. Ke manca negara yang tingkat perkembangan ilmu-nya dianggap lebih baik dan lebih tinggi.

Hasil sekolah di rantau orang ini sayangnya tidak terdatakan. 

idak diketahui berapa jumlah yang berhasil mentuntaskan masa belajarnya sesuai rencana. Berapa yang molor waktunya dan berapa yang gagal. Mengecewakan.

Tidak ada pula data yang menyebabkan hal-hal di atas terjadi. Sehingga kita tidak bisa belajar, bagaimana seharusnya, persiapan yang harus dilakukan orangtua dan anaknya.

Agar tingkat sukses dan keberhasilannya lebih tinggi. Saat mereka menjalankannya. Tidak sekedar lulus dan berijazah. Apalagi gagal belajar alias drop-out.

Kondisi sekarang di Indonesia sudah berbeda dari 40 tahum yang lalu. Apalagi dibanding saat masih terjajah.

Sebaran perguruan tinggi relatif lebih merata. Di setiap ibukota provinsi sudah tersedia perguruan tinggi. Bahkan di banyak kotamadya pun sudah ada.

Bagaimana dengan mutu pendidikannya, kualitas dan biayanya?

Tentang hal itu ada berbagai pendapat berbeda, dengan argumentasi yang logis. Artikel ini tidak dimaksudkan membahas hal tersebut secara mendalam. Tetapi lebih ke persiapan yang dibutuhkan, sebelum diputuskan merantaukan anak.

Secara umum, sebuah sekolah atau pun perguruan tinggi, hanya dapat diselenggarakan bila memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan negara.

Dengan kata lain, sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal, mestinya sudah terstandar dan memenuhi kriteria minimal.

Memang ada faktor-faktor lain yang bisa jadi pembeda. 

Perguruan tinggi atau sekolah yang lebih dulu ada dan punya nama besar, tentu peminatnya banyak. Sistem seleksi yang ketat, menghasilkan peserta didik yang secara potensial di atas rata-rata.

Pergaulan dan interaksi diantara mereka yang lebih cerdas, tentu saling berpengaruh dan mampu mengakumulasikan pemikiran-pemikiran. 

Inilah kelebihan perguruan tinggi yang sudah lebih dulu berdiri dan diminati.

Sementara itu merantaukan seorang anak, masih banyak dipercayai, nantinya akan membuat kondisi kehidupan generasi penerus lebih terjamin. Minimal masuk di kelas sosial ekonomi menengah.

Kehidupan kota besar, suasana merantau yang mengharuskan lebih mandiri. Godaan-godaan dan tantangan pergaulan, adalah situasi lingkungan yang dapat berdampak apa saja. Bisa buruk ataupun baik.

Anak penuntut ilmu di rantau, saat berangkat, harus sudah siap hidup sendiri, tanpa kendali dan pengawasan orang tua. Harus sudah menyadari dan bertekad penuh, untuk segera menyelesaikan belajar formalnya.

Anak tanpa pembekalan yang baik secara mental dan moral dari orangtua akan berisiko gagal, buang waktu dan biaya di depan mata.

Bagaimana dengan belajar atau kuliah di kota sendiri, kota yang sama dengan lokasi tinggal orangtua? Risiko yang sama tetap ada. 

Sekadar menyebut contoh, di sebuah kota dengan perguruaan tinggi yang terkenal seleksi masuknya ketat. Banyak anak-anak cerdas di kota itu yang diterima, namun kebanyakan gagal di tahun kedua. Drop out.

Salahnya di mana? Mereka di kotanya itu lingkungan bergaulnya luas. Pertemanannya di luar kampus, (tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Padahal mereka setiap hari sabtu, harus menjalani ujian yang ketat. Mereka gagal melakukan persiapan dengan baik, karena terlalu banyak bermain dengan kawan lama. Tidak sekampus.

Jadi, apa yang harus dilakukan orangtua, agar anaknya sukses menjalani saat-saat belajar, baik di rantau ataupun di kota sendiri.

Akan lebih bijak dimulai sejak dini, bangun kedekatan, keterbukaan antara orangtua dan anak.

Indikator kedekatan yang paling sederhana adalah, bila anak-anak lebih suka berbicara hal-hal pribadi kepada orangtua; daripada ke temannya.

Mampu mencontoh perbuatan baik orangtua. Suka beraktivitas bersama orang tua.

Di sisi lain, .... Orangtua, mampu dan bersedia mendengar apa saja dari anaknya. Caranya, sejak dini, sering ngobrol dengan anak, tanyakan aktivitasnya. Bukan menggurui setiap kali. 

Misalnya, ...
"Di sekolah hari ini, apa yang mengesankanmu ?"

"Menurutmu bagaimana cara-mu belajar, agar nilaimu bisa baik ? Kamu, kan punya cita-cita, apa yang menurutmu yang harus dilakukan, supaya berhasil. Selain biaya".

Sering diskusi, sering bicara dan dipeluk. Diperhatikan Membuat anak merasa dekat dengan orangtuanya. Dia lebih suka bercengkrama dengan keluarga dibanding dengan orang lain. Dia lebih suka tinggal di rumah, dari pada keluyuran bersama teman-temannya. Taat menjalankan perintah agama.

Jika sudah begitu, silahkan rantaukan anak anda, atau belajar di lembaga sekota. Jangan lupa, terus didoakan.

Saya pasti ikut senang bila anak anda sukses. Taat beribadah dan berilmu dunia-akhirat dengan baik.

Tentu kelak mereka tumbuh, jadi kader-kader Bangsa yang mumpuni, jujur dan berakhlak mulia. Memberi nafkah halal pada anak keturunannya.

Jika di Indonesia banyak warganya sukses, pasti kita semua segera merasakan Indonesia maju, sejahtera seluruh Rakyatnya.
Aamiin.
 
Pagedangan, 2 Oktober 2021
Oleh : Soetiyastoko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun