Bukalapak IPO menjadi salah satu topik hangat sejak akhir pekan lalu. Setelah Public Expose Bukalapak pada 9 Juli 2021, muncul perdebatan apakah saham ini layak koleksi atau tidak. Apalagi, perdebatan membentuk dua kubu antara yang menilai kinerja saat ini dengan prospeknya di masa depan.Â
Bukalapak menargetkan bisa himpun dana IPO sekitar Rp22 triliun, kalau terealisasi bakal menjadi nilai yang terbesar sepanjang sejarah BEI. Terakhir, yang terbesar adalah ADRO dengan nilai sekitar Rp12 triliun, kalau tidak salah, koreksi saya kalau salah. Namun, Bukalapak yang masih rugi justru jadi sorotan utamanya.
Perusahaan teknologi memang sangat terkait sebagai perusahaan rugi yang punya prospek di masa depan. Semua perusahaan teknologi yang membangun ekosistem pasti awalnya rugi karena butuh modal besar untuk mengejar pertumbuhan bisnis.Â
Banyak contoh perusahaan rugi, salah satunya yang menarik perhatian gue adalah SEA Group. Perusahaan teknologi paling bernilai di Asean dan sudah IPO di AS. Dari waktu IPO hingga sampai saat ini, SEA masih rugi. Namun, harga sahamnya justru melambung tinggi hingga tembus 275 dolar AS per saham.Â
Sebenarnya, opini lengkap gue versi pertama ada di blog gue Suryarianto.id, klik di sini untuk langsung ke artikelnya ya.
Balik ngomongin SEA Group, kenapa sahamnya bisa melejit hingga ratusan dolar AS dalam kondisi rugi. Jawabannya adalah perusahaan itu terus mengembangkan ekosistemnya. Secara keseluruhan, saat ini memang rugi, tetapi saat ini bisnis entertainment SEA lewat Garena sudah mencatatkan Ebitda yang positif.Â
Nah, dua lini bisnis lainnya, yakni e-Commerce lewat Shopee dan keuangan lewat Sea Pay memang masih rugi dari Ebitda hingga laba bersihnya. Namun, di sini SEA sudah punya amunisi dari bisnis gamingnya yang sudah positif. Apalagi, peminat dan fanatik gamenya bertajuk Free Fire sangat banyak.Â
Terus Bagaimana dengan Bukalapak?
Bisa dibilang, Bukalapak agak berbeda nasibnya dengan SEA Group. Diversifikasi bisnisnya masih monoton hanya di bidang perdagangan. Dari satu kalimat ini, apakah kamu langsung berpendapat kalau Bukalapak jelek?
Oke, gue bakal ulas Bukalapak mulai dari kinerjanya. Secara keseluruhan Bukalapak mencatatkan pendapatan sebesar Rp1,35 triliun, tetapi rugi senilai RP1,34 triliun. Lalu, beban penjualan dan pemasarannya Rp1,55 triliun. Terus darimana tuh nafasnya Bukalapak ya? ya dari dana investor heheÂ
Dari segi angka memang terlihat Bukalapak memiliki peforma yang kurang menyakinkan. Lalu, kita lihat dari segi sumber pendapatan, Bukalapak punya tiga sumber, yakni marketplace, Mitra Bukalapak, dan BukaPengadaan. Dari ketiga sumber itu, mayoritas terbesar berasal dari marketplace.Â
Namun, tidak bisa dipungkiri, marketplace Bukalapak bukan nomor wahid di Indonesia. Menurut estimasi GMV, Bukalapak menjadi marketplace ke-4 di Indonesia di bawah Lazada, Tokopedia, dan Shopee. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran banyak orang yang mau beli saham IPO Bukalapak.Â
Perusahaan teknologi kan mengejar pertumbuhan bisnis agar pangsa pasarnya besar, tetapi Bukalapak tertinggal lumayan jauh dari Shopee dan Tokopedia. Kalau begitu, bagaimana dengan prospeknya?
Bukalapak Bukan Sekadar Marketplace
Salah satu penuturan manajemen Bukalapak saat public expose adalah menjelaskan kalau mereka bukan sekadar marketplace. Selain marketplace, mereka punya banyak platform lainnya. Salah satu yang sering disebut adalah Mitra Bukalapak. Kalau yang gue tangkep, mitra Bukalapak ini seperti e-Warung yang dikombinasikan dengan agen PPOB untuk jualan pulsa, voucher game, listrik, dan lainnya.Â
Bukalapak mengklaim potensi pasar bisnis Mitra Bukalapak sangat besar, terutama di luar kota besar. Memang, keberadaan Mitra itu bisa memperkuat ekosistem Bukalapak di luar kota besar karena di sana penetrasi keuangan digital masih sangat rendah. Dengan meningkatkan literasi digital transaksi di daerah, Bukalapak bisa saja mendapatkan potensi user yang lebih loyal ke depannya.Â
Apalagi, dari sisi jenis platform, bentuk Mitra Bukalapak menjadi yang terbesar untuk pemain di segmen itu. Pesaing di level yang sama paling cuma Warung Pintar sampai saham teknologi di BEI, yakni Kioson yang skalanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan Bukalapak.Â
Namun, pekerjaan rumah yang terbesar adalah bagaimana bisa mengembangkan pasar Mitra Bukalapak di luar kota besar tersebut? Soalnya, modal yang dibutuhkan pasti lebih besar dan risikonya juga tinggi dalam berkomunikasi dengan para mitra. Atau kinerja mitra tidak optimal sehingga berpengaruh terhadpa bisnis mitra Bukalapak.Â
Belum lagi kompetitor seperti Tokopedia juga sudah meluncurkan produk serupa yang saat ini belum diketahui bakal seberapa besar. Dengan berbagai tantangan itu, apakah Bukalapak bisa menjadi lead di sektor bisnis seperti Mitra Bukalapak tersebut? lalu apakah modal Rp22 triliun dari dana IPO bisa cukup untuk mendanai ekspansi?
Kalau Gitu, Bukalapak yes or no?
Sejak awal Bukalapak mau IPO, gue sangat excited. Bukan gimana-gimana, pengen juga sih ngerasain punya saham teknologi, meski ini bukan yang terbesar. Konon, Go-To juga mau IPO di akhir tahun sih. Namun, tetap awalnya tertarik.Â
Setelah melihat laporan keuangannya, tidak ada masalah signifikan dalam bisnis Bukalapak. Permasalahannya adalah pekerjaan rumah yang gue tulis sebelumnya. Modal segitu cukup enggak buat Bukalapak mengembangkan ekosistem bisnisnya lebih besar lagi sehingga prospek di masa depannya indah.Â
Jadi, kalau gue sih cenderung mau berusaha bisa dapat  jatah koleksi saham IPOnya, dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Soalnya, gue juga harus mengukur risiko yang ada juga. Intinya, kalau kamu mau mencoba boleh saja, tetapi kalau kamu berkeyakinan fundamental Bukalapak saat ini jadi keputusan investasi juga tidak masalah. Paling penting, kamu sudah memahami keuntungan dan risiko setiap keputusan investasimu ya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H