Ada loh perusahaan yang tiba-tiba terancam pailit padahal enggak ada angin atau badai apapun. Yak, itu semua terjadi pada PT Kawasan Industri Jababeka Tbk. yang membuat jantung karyawan, pemegang saham ritel, dan mitra kontraktornya degdegan. Semua ini, saya kutip dari Suryarianto.id
Dalam keterbukaan informasi pada 17 Juli 2019 malam, tiga pihak terkait proyek Kawasan Industri Jababeka yang menolak hasil RUPS perseroan. ketiga pihak itu antara lain, PT Bhinneka Cipta Karya, PT Praja Vita Mulia, dan PT Grha Kreasindo Utama.
PT Grha Kreasindo yang menjadi kontraktor proyek di Morotai milik Kawasan Indsutri Jababeka mengaku bingung dan resah dengan isu KIJA terancam gagal bayar surat utang.
Untuk itu, Grha Kreasindo yang berkepentingan atas proyek Kawasan Industri Jababeka merasa keberatan dengan perubahan pengendali dan jajaran direksi serta komisaris tersebut.
PT Bhineka Cipta Karya, kontraktor PT Grahabuana Cikarang, anak usaha Kawasan Industri Jababeka, merasa sangat dirugikan dengan isu perombakan direksi dan komisaris di KIJA. Bhineka Cipta Karya pun secara tegas menolak perubahan susunan direksi dan komisaris perseroan.
Pasalnya, perubahan direksi dan komisaris KIJA bisa membuat perseroan gagal bayar pembelian kembali surat utangnya sehingga bisa berdampak kepada anak usaha, termasuk perusahaan tempat kontraktor itu bekerja.
Begitu juga dengan PT Praja Vita Mulia, kontraktor proyek Kawasan Industri Jababeka yang menolak keputusan perubahan direksi dan komisaris tersebut.
Sebelum rapat umum pemegang saham pada 26 Juni 2019, tidak ada tanda-tanda nasib Kawasan Industri Jababeka bakal terancam gagal bayar dalam aksi beli kembali surat utangnya. Apalagi, kinerja kuartal I/2019 KIJA juga cukup moncer.
Laba bersih KIJA melesat 368,96% menjadi RP74,29 miliar dibandingkan dengan Rp15,84 miliar pada kuartal I/2018.
Lonjakan laba bersih perseroan itu ditopang oleh untung selisih kurs yang mencapai Rp71,82 miliar dibandingkan rugi kurs Rp59,92 miliar di periode sama tahun lalu.
Harga saham KIJA malah sedang ngebut ke atas. Sejak 22 Mei 2019 sampai 8 Juli 2019, harga saham KIJA melesat 21,6% menjadi RP304 per saham.
Sayangnya, nasib Kawasan Industri Jababeka yang bagus harus berakhir akibat hasil rapat umum pemegang saham (RUPS) tahunan 26 Juni 2019.
Sebenarnya, RUPS tahunan KIJA sempat ditunda selama sebulan dari awalnya 24 Mei 2019 menjadi 26 Juni 2019. Namun, ini juga belum memberikan tanda ada masalah dengan KIJA.
Puncaknya, RUPS tahunan pada 26 Juni 2019 itu juga membahas perubahan susunan anggota direksi dan komisaris. PT Imakotama Investindo dan Islamic Development Bank selaku pemegang 6,387% dan 10,841% mengusulkan Sugiharto sebagai anggota direksi dan Aries Liman sebagai anggota komisaris.
Sugiharto pun diangkat sebagai direktur utama, sedangkan Aries Liman diangkat sebagai komisaris. Keputusan itu disetujui oleh 52,11% pemegang saham yang hadir dalam rapat.
Pihak yang melakukan setuju dengan perubahan itu disebut berada di bawah kendali Imakotama dan afiliasing.
Hal itu membuat masalah berlanjut ke surat utang Senior Guaranteed Notes yang bakal jatuh tempo 2023 senilai US$300 juta yang diterbitkan Jababeka International B.V, anak usaha perseroan.
Surat utang itu memiliki syarat dan kondisi yakni, jika terjadi perubahan pengendali, perseroan akan menawarkan opsi buyback surat utang dengan harga 101% selama 30 hari sejak perubahan pengendali.
Nah, jumlah pemegang saham yang melakukan voting setuju disebut di bawah kendali Imakotama. Jumlah itu disebut melebihi syarat pemegang saham pengendali yang telah ditentukan dari surat utang tersebut.
Lalu, KIJA pun mengumumkan perseroan tidak dapat melaksanakan penawaran pemeblian kembali surat utang tersebut. Untuk itu, Jababeka International B.V akan berada dalam kondisi gagal bayar atau default.
Meskipun begitu, pemegang saham ritel KIJA disebut bisa tetap tenang. Nasib Kawasan Industri Jababeka masih bisa diselamatkan.
Salah satu pengamat mengatakan, jika ada kasus gagal bayar obligasi, biasanya akan dilakukan rapat pemegang obligasi. Nanti, bisa saja muncul opsi perpanjangan masa pembayaran pokok atau negosiasi lainnya.
"Seharusnya, para pemegang obligasi setuju untuk perpanjang karena jika langsung deal 101%, berarti mereka hanya mendapatkan bunga 1%. Padahal, kupon obligasinya mencapai 6,5%," ujarnya.
Dia pun menilai, dampaknya kepada pemegang saham ritel tidak terlalu besar jika pembayaran surat utang itu mendapatkan perpanjangan waktu.
Sepanjang setahun terakhir, KIJA memang mencatatkan perubahan kepemilikan saham. Bahkan, Imakotama Investindo belum terdaftar sebagai pemegang saham di atas 5% pada akhir 2018.
Komposisi pemegang saham di atas 5% pada akhir 2018 yakni, Islamic Development Bank 9,32% dan Mu Min Ali GUnawan 21,08%.
Imakotama mulai muncul sejak 30 April 2019, saat itu porsi kepemilikan Imakotama 5,18%, sedangkan porsi kepemilikan Islamic Development Bank (IDB) dan Mu Min Ali GUnawan masing-masing 9,3% dan 21,08%.
Sampai akhir Mei 2019, Imakotama terus menambah kepemilikannya di KIJA menjadi 6,16%. IDB juga menambah kepemilikannya menjadi 10,93%, sedangkan Mu Min Ali GUnawan tetap 21,08%.
Imakotama disebut memiliki 90% saham PT Pratama Capital Indonesia. Nama Pratama Capital turut muncul dalam RUPS tersebut. Selain Imakotama, Pratama Capital juga dimiliki oleh Mustafa sebanyak 10%.
Pratama Capital lewat Pratama Capital Asset Management menjadi pihak yang diberikan kuasa oleh Imakotama untuk mengusulkan nama direktur utama baru KIJA.
Dikutip dari Linkedin Iwan Margana, pihak terkait menyebutkan dirinya sebagai pemilik PT Pratama Capital Indonesia.
Artinya, bisa jadi Iwan Margana juga memiliki hubungan kuat dengan Imakotama.
Nah, kira-kira bagaimana nasib KIJA, pemegang saham, pekerja, dan mitra selanjutnya jika kasus pergantian direksi ini berlanjut? kita tunggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H