Sayangnya, nasib May menjadi perdana menteri hanya bertahan kurang dari 3 tahun. Johnson kembali muncul sebagai calon perdana menteri pengganti May. Â Selain Johnson, ada Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt yang siap merebut kursi perdana menteri.
Johnson diprediksi bisa membuat Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan, sedangkan Hunt kemungkinan bakal negosiasi ulang dengan UE terkait Brexit.
Sementara itu, di tengah kondisi Brexit yang masih menggantung, Presiden Amerika Serikat (AS) hadir sebagai tokoh yang tidak jelas protagonis atau antagonis untuk Inggris.
Trump mendukung Inggris keluar dari UE. Bahkan, dia menekankan Inggris bisa saja memaksa Brexit tanpa kesepakatan demi kemerdekaan Negara Ratu Elizabeth tersebut.
Dia juga menjanjikan jika Inggris keluar dari Uni Eropa, AS siap membuat kesepakatan dagang baru dengan Ratu Elizabeth.
Alasan Inggris keluar dari Uni Eropa adalah peraturan komunitas negara kawasan itu yang terkesan mengekang perekonomian Inggris. Bahkan, perjanjian dagang bilateral pun tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus dengan komunitas negara kawasan tersebut.
Warga Inggris dikabarkan mulai setengah hati untuk Brexit. Bahkan, pada Maret 2019, sempat ada petisi untuk mencabut pasar 50 dan membatalkan Brexit. Konon, sudah ada 2 juta lebih tanda tangan yang dikumpulkan lewat petisi daring tersebut.
Memang, ketika referendum dilakukan, tingkat golput sangat tinggi. Jumlah partisipasi pemilihan suara hanya sekitar 71% dari total penduduk di Inggris.
Melihat pengalaman Inggris itu, Indonesia harusnya juga berhati-hati melangkah lebih jauh dalam masuk 'pasar bebas' Asean lewat MEA. Jika MEA naik kelas menjadi Uni Asean, bukan tidak mungkin nasib Indonesia sebagai negara dengan wilayah terluas terkekang dengan aturan komunitas negara kawasan. Jadi waspadalah, waspadalah.Â
Sumber :Â Suryarianto.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H