Mohon tunggu...
Surya Rianto
Surya Rianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger, Jurnalis Ekonomi, Pecinta Badminton, dan Anime

Blogger, Jurnalis Ekonomi, Pecinta Badminton, Penggemar Anime dan Dorama Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Opera Sabun ala Brexit

15 Juni 2019   10:22 Diperbarui: 15 Juni 2019   10:47 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi brexit. / Petr Kratochvil / Licensed From Publicdomainpictures.net

Tidak ada opera sabun yang paling menarik selama libur Idulfitri selain kisah Brexit yang masih menggantung hampir 3 tahun terakhir. Puncaknya, Perdana Menteri Inggris Theresa May yang bertugas menyelesaikan Brexit mengundurkan diri pada pekan lalu.

Pengaturan relasi Inggris dan Uni Eropa di masa depan, termasuk terkait perbatasan dan bea cukai Inggris-Irlandia menjadi perdebatan negosiasi skema Brexit hingga May memutuskan untuk mundur.

Mentoknya negosiasi  antara May dengan parlemen hampir membuat Inggris terancam keluar dari Uni Eropa (UE) tanpa kesepakatan. Pasalnya, penolakan proposal May membuat Inggris melewati tenggat waktu yang telah ditentukan sebelumnya oleh UE yakni, 29 Maret 2019.

Brexit tanpa kesepakatan adalah hal yang ditakutkan oleh Inggris dan UE. Untuk itu, UE setuju untuk memperpanjang batas waktu Inggris keluar dari komunitas negara Benua Biru itu menjadi 12 April 2019.

Sayangnya, lagi-lagi May gagal mendapatkan lampu hijau dari parlemen hingga batas waktu Brexit kedua yang diberikan. Posisi May pun goyah karena diterpa mosi tidak percaya dan kepemimpinan yang lemah.

Di tengah polemik internal Inggris itu, UE setuju memberikan perpanjangan masa Brexit hingga 31 Oktober 2019 untuk Inggris. Harapannya, dengan tenggat waktu itu Inggris bisa menemukan solusi terbaik untuk Brexit.

Sebelum tarik ulur terkait skema Brexit, pemilihan perdana menteri Inggris untuk menggantikan David Cameron pada 2016 juga diwarnai drama.

Hasil referendum pada 2016 menunjukkan publik Inggris setuju Brexit karena gerah dengan banyaknya pekerja migran dari negara UE. Hasil itu pun membuat Cameron harus mundur dari posisinya sebagai perdana menteri.

Saat itu, calon kuat perdana menteri Inggris adalah Boris Johnson, juru kampanye Brexit jelang referendum. Namun, Johnson malah mundur di tengah jalan, calon perdana menteri yang tersisa tinggal Theresa May dengan Andrea Leadsom.

Entah beruntung atau buntung, May yang sempat mendukung Cameron agar Inggris tetap di UE malah terpilih menjadi perdana menteri. Pasalnya, Leadsom selaku pesaingnya mundur dari persaingan setelah mengutarakan komentar kurang bijak yang menyinggung May.

Sayangnya, nasib May menjadi perdana menteri hanya bertahan kurang dari 3 tahun. Johnson kembali muncul sebagai calon perdana menteri pengganti May.  Selain Johnson, ada Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt yang siap merebut kursi perdana menteri.

Johnson diprediksi bisa membuat Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan, sedangkan Hunt kemungkinan bakal negosiasi ulang dengan UE terkait Brexit.

Sementara itu, di tengah kondisi Brexit yang masih menggantung, Presiden Amerika Serikat (AS) hadir sebagai tokoh yang tidak jelas protagonis atau antagonis untuk Inggris.

Trump mendukung Inggris keluar dari UE. Bahkan, dia menekankan Inggris bisa saja memaksa Brexit tanpa kesepakatan demi kemerdekaan Negara Ratu Elizabeth tersebut.

Dia juga menjanjikan jika Inggris keluar dari Uni Eropa, AS siap membuat kesepakatan dagang baru dengan Ratu Elizabeth.

Alasan Inggris keluar dari Uni Eropa adalah peraturan komunitas negara kawasan itu yang terkesan mengekang perekonomian Inggris. Bahkan, perjanjian dagang bilateral pun tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus dengan komunitas negara kawasan tersebut.

Warga Inggris dikabarkan mulai setengah hati untuk Brexit. Bahkan, pada Maret 2019, sempat ada petisi untuk mencabut pasar 50 dan membatalkan Brexit. Konon, sudah ada 2 juta lebih tanda tangan yang dikumpulkan lewat petisi daring tersebut.

Memang, ketika referendum dilakukan, tingkat golput sangat tinggi. Jumlah partisipasi pemilihan suara hanya sekitar 71% dari total penduduk di Inggris.

Melihat pengalaman Inggris itu, Indonesia harusnya juga berhati-hati melangkah lebih jauh dalam masuk 'pasar bebas' Asean lewat MEA. Jika MEA naik kelas menjadi Uni Asean, bukan tidak mungkin nasib Indonesia sebagai negara dengan wilayah terluas terkekang dengan aturan komunitas negara kawasan. Jadi waspadalah, waspadalah. 

Sumber : Suryarianto.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun