Mohon tunggu...
Ade'Yukie Soentanie
Ade'Yukie Soentanie Mohon Tunggu... pengarang -

pengarang novel Jalan Takdir, Nol Ketemu Satu. aktivis Himpunan mahasiswa Islam (HmI). kontak: 082193429719 email: Soentanie@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-burung pun Berbatuk

20 Desember 2015   08:17 Diperbarui: 20 Desember 2015   12:47 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah baru pulang dari Irian. Ia membawa dua ekor burung Nuri. Aku kasihan melihat dua ekor burung Nuri itu di dalam sangkar yang tidak ada kebebasan sama sekali, terpenjara. Kalau aku jadi mereka, bagaimana sakit hatiku pada manusia? Lalu aku melepaskan dua ekor burung Nuri itu yang di bawa ayah jauh-jauh dari Irian. Aku lepaskan dua ekor burung Nuri itu. dua ekor burung Nuri itu akhirnya bisa bebas dari sangkar terpenjara itu. terbang asik di atas angin. Tapi aku perhatikan lagi baik-baik. Wajah mereka tidak begitu bahagia. Mereka masih dengan wajah seperti berada di dalam sangkar. Entahlah…

Berselang beberapa jam kemudian. Ayah tahu kalau dua ekor burung Nuri itu sudah aku lepaskan dari sangkar. Ibu yang memberitahu ayah kalau aku yang melepaskan burung-burung itu dari sangkarnya. Waktu aku melepaskan burung-burung itu, ada ibu yang melihatku. Tapi dia tidak berkata apa-apa padaku. Dia juga tidak memarahiku atau menegurku dan melarangku. Jadi aku santai saja melepaskan dua ekor burung Nuri itu dari sangkarnya. Ayah kemudian marah-marah, dan mencariku kemana-mana. Tapi ayah tidak menemukan aku. Selesai melepaskan dua ekor burung Nuri itu, aku langsung ke pantai di ujung kampung dan mandi-mandi di laut dengan perahu kecil bersama teman-teman sekolah.

Dan ketika aku pulang ke rumah, ayah sedang duduk di ruang tamu. Dia ternyata sedang menunggu aku pulang dari tempat bermain. Wajahnya menakutkan sekali. Memang dia sudah emosi sekali dan sangat marah padaku. Aku tidak jadi lewat pintu depan rumah. Aku putar dan masuk lewat pintu belakang. Ayah sudah tahu kalau aku sudah pulang. Setelah aku masuk di dapur, aku menemui ibu sedang memasak air di tungku. Ibu menegurku.

            “Kamu sudah bertemu ayah? Dia mencarimu.”

            “Belum.”

            “Sana temui ayahmu dulu. Kamu darimana?”

            “Dari laut, mandi-mandi dengan perahu.”

            “Ya sudah… Kamu sana temui ayahmu. Dia sudah lama menunggumu di ruang tamu.”

            “Iya Bu…”

            “Sudah sana…”

            “Iya…”

Tiba-tiba ayah bersuara, dia bertanya padaku. Ketika itu perasaanku semakin kacau. Aku jadi gugup dan ketakutanku begitu hebat.

            “Kamu darimana saja?”

            “Dari laut, mandi-mandi dengan perahu.”

            “Kerjamu mandi-mandi laut terus. Kapan kamu mau baca buku?”

            Ayahku paling benci orang yang malas baca buku. Ayahku seorang guru, dia sering memarahi anak-anak muridnya di sekolah, kalau malas-malas baca buku. Aku terdiam lama sekali waktu itu. tidak tahu aku mau bilang apa dengan ayahku. Ayah kemudian bertanya lagi, karena aku hanya diam dan semakin ketakutan.

“Kamu tidak melihat dua ekor burung Nuri yang kemarin ayah bawa dari Irian? Ayah tidak lagi melihatnya di sangkarnya. Apakah kamu tahu? Apakah kamu melihat?”

Ayah menanyakan dua ekor burung Nuri itu. Yang mana dua ekor burung Nuri itu telah aku lepaskan dari sangkaranya. Ketakutanku bertambah hebat. Aku gemetaran ketakutan tak jadi-jadi. Tidak tahu aku mau beralasan apalagi dengan ayahku. Aku semakin pusing. Pusing, dan pusing. Ingin mencari alasan yang baik dan logis, biar diterima oleh ayah dan tidak kena marah hebat. Tapi pikiranku tak dapat bekerja sama. Apalagi hatiku. Huu... Pada akhirnya aku hanya pasrah. Terserah ayah, mau berbuat apa terhadapku...

Aku sangat yakin dengan ayah. Jika ayah sudah marah sekali, ayah pasti akan mengataiku tolol, goblok, bodoh, dan apalah yang itu semua membuat aku tak miliki kekuatan untuk bangkit kembali menjalani hidup ini. Yang membuat aku tidak percaya diri lagi. Yang membuat aku putus asa. Sangat kasar betul kata-katanya di saat marah. Ini adalah hal yang tidak lagi asing kepadaku. Sudah menjadi kebiasaan ayah sejak dulu. Kepada ibu juga, ayah selalu melakukan hal yang serupa. Dan ibu hanya menangis dan menangis. Tapi aku tidak bisa menangis. Kalau aku menangis, akan bertambah parah dan kata-katanya ayah akan semakan keras kasarnya buat diriku. Lama-lama aku pun muak dengan biasaan ayah itu. Tapi aku ketakutan, aku sangat ketakutan. Aku tidak bisa membantah ayah, atau mencoba untuk melawan ayah. Aku tidak bisa! Aku takut kena sumpah dan kutukan. Dan kali ini juga aku yang salah. Aku harus siap terima apa pun yang terjadi. Aku yakin juga, sejahat-jahatnya seorang ayah atau ibu, yaa... Kedua orang tua, pasti ada kebaikan yang mereka perjuangkan untuk anak-anak mereka.

Ayah masih terus memarahiku. Aku diam dengan baik. Ibu sesekali bersuara, jika mendengarkan ucapan ayah yang sudah tidak wajar lagi untuk di lontarkan kepadaku. Apa kata ibu, “sudah... sudah... sudah... jangan berlebihan dan bentak-bentak anakmu yang tak sewajarnya lagi. Kalau dia meraju, marah dan tak sanggup lagi hidup denganmu, bagaimana? Bagaimana kalau misalnya dia pergi dari rumah? Kan, yang repot siapa? Kalau bukan kita? Kita nanti yang sengsara. Anak satu-satu kok di marahin melulu. Sudah, sudah... jangan lagi di marahin dia.”

“Iya ibu. Tapi ini anak betul-betul keterlaluan dan kurang ajar. Ayah susah-payah menangkap burung Nuri di Irian, dan susah-payah membawanya ke rumah. Malah sampai di rumah, ini anak melepaskannya begitu saja. Entahlah... Apa yang ada di otaknya ini anak. Pusing aku dibuatnya. Stress barangkali ini anak.” Kata ayah.

“Anakku sayang... Kamu minta maaf sama ayah ya? Kamu tahu kan, kalau kamu yang salah? Sudah sana minta maaf, tidak apa-apa. Ayo... Segera sana minta maaf dengan ayah.” Kata ibu padaku. Ibu menita aku untuk minta maaf dengan ayah.

“Ayah... Maafin anaknya yaa...” Ucap ibu.

“Ayah maafin aku yaa.” Kataku seusai ibu.

Ayah tidak berkata apa-apa. Ayah hanya terdiam. Dan tak ada lagi marah dan bentakan yang keluar dari mulutnya. Aku dan ibu menunggu ayah untuk berucap memaafkanku. Tapi ayang tidak bicara sedikit pun. Ayah terdiam, aku terdiam, ibu terdiam. Aku menunggu ayah bicara, ayah masih menahan bicaranya, ibu menatap ayah dengan kepolosannya yang indah. Lalu tak lama kemudian ayah baru angkat bicara.

“Anakku, mengapa kamu tega melepaskan dua ekor burung Nuri, yang ayah bawa dari Irian? Mengapa?” Tanya ayah.

Aku tak dapat menjawab pertanyaan ayah yang masih sama itu. Karena aku hanya diam membisu. Ayah lanjut bicara lagi.

“Tahu kamu? Kenapa ayah sangat marah denganmu, anakku. Ayah ini merasa sangat berdosa sekali. Sangat-sangat berdosa. Dosa ayah sangatlah besar sekali. Yaa... Setelah kamu melepaskan burung-burung itu dari sangkarnya.”

“Kenapa bisa ayah?” Tanyaku bingung.

“Anakku, kamu lihat! Kamu lihat sendiri kamu kita ini. Lihat baik-baik. Lihat dengan mata hatimu. Lihat anakku. Apa yang kamu lihat dan saksikan? Sudah kamu tahu kan anakku? Hutan-hutan sudah rata tanah, digantikan dengan gedung-gedung berkaca, berlantai-lantai tingkat tinggi. Kamu tahu? Beberapa tahun, kampung kita ini tidak pernah sedikit pun kedatangan banjir yang sampai menghilangkan korban jiwa, rumah roboh dan jalan amburadul. Kalau sudah tidak ada hutan, lalu burung-burung yang kamu lepaskan dari sangkarnya itu akan kemana?”

“Tapi kan ayah, mereka masih bisa ke kota.”

“Bodoh! Kamu ini apa tidak punya mata? Kamu lihat sendiri kehidupan di kota seperti apa?” Kata ayah.

“Anakku sayang... Burung-burung itu mau ke kota untuk apa? Tidak perhatikan burung-burung yang tinggal di kota seperti apa kehidupannya? Burung-burung yang tinggal di kota semuanya menderita. Dan mereka semakin kecil. Bagaimana tidak mau kecil. Toh udara di kota itu sangat mengganggu kesehatan setiap makhluk hidup. Lagian di kota juga pohon-pohan untuk mereka singgahi juga tidak ada. Maksudnya, tidak ada memberikan makanan buat mereka. Yang ada sama seperti yang akan dilaksanakan nanti di kampung kita ini, satu-dua hari lagi. Yaa pembangunan yang tidak manusiawi. Kalau gedung-gedung berlantai-lantai yang di bangung. Apa ia, burung-burung itu ke kota dan mencari makan di sana? Anakku sayang... Burung-burung tidak pandai korupsi. Burung-burung hanya tahu makan, tidur, berak dan terbang sana-sini. Menjadi khiasan bumi pertiwi ini. Langit juga semakin mendung. Lama-lama burung-burung pun berbatuk.” Ibu menerangkan padaku. Aku berdoa, kudoakan dua ekor burung Nuri itu, biar selamat. Ayah masih bersedih. Memikirkan perbuataanku dan perbuatannya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun