Tiba-tiba ayah bersuara, dia bertanya padaku. Ketika itu perasaanku semakin kacau. Aku jadi gugup dan ketakutanku begitu hebat.
“Kamu darimana saja?”
“Dari laut, mandi-mandi dengan perahu.”
“Kerjamu mandi-mandi laut terus. Kapan kamu mau baca buku?”
Ayahku paling benci orang yang malas baca buku. Ayahku seorang guru, dia sering memarahi anak-anak muridnya di sekolah, kalau malas-malas baca buku. Aku terdiam lama sekali waktu itu. tidak tahu aku mau bilang apa dengan ayahku. Ayah kemudian bertanya lagi, karena aku hanya diam dan semakin ketakutan.
“Kamu tidak melihat dua ekor burung Nuri yang kemarin ayah bawa dari Irian? Ayah tidak lagi melihatnya di sangkarnya. Apakah kamu tahu? Apakah kamu melihat?”
Ayah menanyakan dua ekor burung Nuri itu. Yang mana dua ekor burung Nuri itu telah aku lepaskan dari sangkaranya. Ketakutanku bertambah hebat. Aku gemetaran ketakutan tak jadi-jadi. Tidak tahu aku mau beralasan apalagi dengan ayahku. Aku semakin pusing. Pusing, dan pusing. Ingin mencari alasan yang baik dan logis, biar diterima oleh ayah dan tidak kena marah hebat. Tapi pikiranku tak dapat bekerja sama. Apalagi hatiku. Huu... Pada akhirnya aku hanya pasrah. Terserah ayah, mau berbuat apa terhadapku...
Aku sangat yakin dengan ayah. Jika ayah sudah marah sekali, ayah pasti akan mengataiku tolol, goblok, bodoh, dan apalah yang itu semua membuat aku tak miliki kekuatan untuk bangkit kembali menjalani hidup ini. Yang membuat aku tidak percaya diri lagi. Yang membuat aku putus asa. Sangat kasar betul kata-katanya di saat marah. Ini adalah hal yang tidak lagi asing kepadaku. Sudah menjadi kebiasaan ayah sejak dulu. Kepada ibu juga, ayah selalu melakukan hal yang serupa. Dan ibu hanya menangis dan menangis. Tapi aku tidak bisa menangis. Kalau aku menangis, akan bertambah parah dan kata-katanya ayah akan semakan keras kasarnya buat diriku. Lama-lama aku pun muak dengan biasaan ayah itu. Tapi aku ketakutan, aku sangat ketakutan. Aku tidak bisa membantah ayah, atau mencoba untuk melawan ayah. Aku tidak bisa! Aku takut kena sumpah dan kutukan. Dan kali ini juga aku yang salah. Aku harus siap terima apa pun yang terjadi. Aku yakin juga, sejahat-jahatnya seorang ayah atau ibu, yaa... Kedua orang tua, pasti ada kebaikan yang mereka perjuangkan untuk anak-anak mereka.
Ayah masih terus memarahiku. Aku diam dengan baik. Ibu sesekali bersuara, jika mendengarkan ucapan ayah yang sudah tidak wajar lagi untuk di lontarkan kepadaku. Apa kata ibu, “sudah... sudah... sudah... jangan berlebihan dan bentak-bentak anakmu yang tak sewajarnya lagi. Kalau dia meraju, marah dan tak sanggup lagi hidup denganmu, bagaimana? Bagaimana kalau misalnya dia pergi dari rumah? Kan, yang repot siapa? Kalau bukan kita? Kita nanti yang sengsara. Anak satu-satu kok di marahin melulu. Sudah, sudah... jangan lagi di marahin dia.”
“Iya ibu. Tapi ini anak betul-betul keterlaluan dan kurang ajar. Ayah susah-payah menangkap burung Nuri di Irian, dan susah-payah membawanya ke rumah. Malah sampai di rumah, ini anak melepaskannya begitu saja. Entahlah... Apa yang ada di otaknya ini anak. Pusing aku dibuatnya. Stress barangkali ini anak.” Kata ayah.
“Anakku sayang... Kamu minta maaf sama ayah ya? Kamu tahu kan, kalau kamu yang salah? Sudah sana minta maaf, tidak apa-apa. Ayo... Segera sana minta maaf dengan ayah.” Kata ibu padaku. Ibu menita aku untuk minta maaf dengan ayah.