Kepala desa sebagai kepala pemerintahan terendah di Indonesia jelas mempunyai massa riil di bawah yang tentu saja akan memengaruhi hasil Pemilu 2024.
Oleh karena itulah, bila aspirasi ini dikabulkan oleh pemerintah dan DPR sebelum Pemilu 2024, hal tersebut bisa diartikan sebagai sebuah "sogokan" bagi kepala desa untuk mengamankan kepentingan politik tertentu pada Pemilu 2024 mendatang.
Sebab, bila saja aspirasi itu murni demi kebaikan desa, maka aspirasi tersebut seharusnya dikaji dan dibahas terlebih dahulu secara mendalam setelah Pemilu 2024 selesai.
Apalagi, belakangan muncul semacam sebuah "ancaman" dari para kepala desa, yakni salah satu contohnya adalah dari para kepala desa di Madura, Jawa Timur sebagaimana yang penulis kutip dari CNNIndonesia.com.
Para kepala desa di Madura, Jawa Timur mengancam akan "menghabisi" suara parpol pada Pemilu 2024 mendatang jika tidak mendukung usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa melalui revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya yang berkenaan dengan usul perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Waduh, hehe..
Nah, penulis sendiri dalam hal ini menilai bahwa dukungan yang diberikan oleh partai-partai politik terhadap usulan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa lebih terasa beraroma kepentingan politis menjelang Pemilu 2024 dari pada untuk membela kepentingan masyarakat desa secara keseluruhan.
Pasalnya menurut penulis, alasan-alasan yang dikemukakan oleh para kepala desa untuk memperpanjang masa jabatan mereka dari 6 tahun menjadi 9 tahun masih perlu dikaji kesahihannya secara keilmuan untuk menguji seberapa urgensikah usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.
Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah soal upaya menghindari konflik pasca-pilkades yang terlalu panjang.
Penulis sendiri berpendapat jika konflik pasca pilkades tidak mampu diselesaikan oleh kepala desa terpilih dalam waktu lebih dari satu tahun, maka kemampuan si calon kepala desa terpilih tersebut dalam hal mengelola manajemen konflik di desa perlu dipertanyakan. Jadi tidak masuk akal menurut penulis jika kemudian si kepala desa terpilih malah justru menyalahkan masa jabatan kepala desa yang hanya 6 tahun.
Alasan lainnya adalah argumen bahwa waktu 6 tahun tidak cukup untuk membangun desa.Â