Mohon tunggu...
Sultoni
Sultoni Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Politik dan Kebijakan Publik AMATIRAN yang Suka Bola dan Traveling

Penulis lepas yang memiliki ketertarikan pada isu-isu sosial politik, kebijakan publik, bola dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anies dan Fenomena Gagalnya Fungsi Kaderisasi Kepemimpinan Oleh Partai Politik

20 November 2022   07:55 Diperbarui: 20 November 2022   08:56 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu fungsi penting dari partai politik di Indonesia menurut hemat penulis adalah menjadi tempat kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa, baik ditingkat nasional maupun ditingkat daerah.

Hal ini terjadi karena partai politik atau gabungan partai politik merupakan satu-satunya instrumen politik ditingkat nasional yang diberikan kewenangan penuh oleh undang-undang untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden di Indonesia.

Sedangkan ditingkat daerah, meskipun bukan merupakan satu-satunya instrumen politik yang diberikan kewenangan untuk mencalonkan kepala daerah, partai politik masih memegang peranan dominan dalam proses pencalonan kepala daerah di Indonesia.

Karena untuk di daerah, selain melalui partai politik, calon kepala daerah juga bisa secara mandiri mencalonkan diri menjadi Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menempuh jalur calon perseorangan atau calon independen.

Dengan menempuh jalur calon independen atau calon perseorangan, seseorang tidak lagi membutuhkan partai politik atau gabungan partai politik sebagai kendaraan politik untuk bisa maju menjadi calon kepala daerah dalam ajang pilkada di daerah.

Berbeda halnya dengan calon presiden dan wakil presiden. Sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, untuk bisa maju menjadi capres atau cawapres, seseorang harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan jumlah kepemilikan kursi di DPR minimal 20 persen atau minimal mempunyai 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu terakhir.

Persyaratan ambang batas minimal kepemilikan kursi di DPR oleh parpol atau gabungan parpol pengusung capres cawapres ini disebut dengan istilah presidential threshold.

Lalu, jika dikaitkan dengan peran penting partai politik dalam melakukan fungsi kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa sebagaimana disebutkan diatas, apakah ada yang salah dengan pencalonan Anies Baswedan sebagai capres 2024 oleh Partai Nasdem?

Jika kita melihatnya dari sisi aturan tentang hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih yang telah dijamin sepenuhnya oleh negara berdasarkan pada Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, maka keputusan Partai Nasdem tersebut memang tidak ada yang salah.

Karena hak setiap warga negara untuk terjun kedalam pemerintahan telah sepenuhnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, khususnya dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3).

Pasal 27 Ayat (1) berbunyi, "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Sedangkan Pasal 28D Ayat (3) berbunyi, "setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan".

Selain itu, adalah juga hak dari setiap partai politik untuk mengusung siapapun warga Negara Republik Indonesia untuk menjadi calon presiden ataupun calon wakil presiden, asalkan memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun sebaliknya, jika kita melihatnya dari sudut pandang fungsi partai politik sebagai sebuah lembaga politik yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa, maka keputusan Nasdem untuk mengusung Anies Baswedan sebagai capres yang akan diusung pada Pilpres 2024 adalah sebuah bentuk kegagalan politik.

Sebagai sebuah partai politik nasional dengan jutaan kader, Nasdem seolah mengalami krisis kader-kader terbaiknya untuk dicalonkan menjadi capres, sehingga terpaksa memilih mendeklarasikan Anies sebagai capres yang akan diusung menghadapi Pilpres 2024, yang notabene Anies  bukanlah kader dari Partai Nasdem.

Tidak hanya terjadi pada Partai Nasdem, krisis kader-kader potensial calon pemimpin-pemimpin bangsa sepertinya juga terjadi hampir di seluruh partai-partai politik yang ada di Indonesia saat ini.

Hal ini terlihat dari minimnya kader-kader potensial partai politik yang namanya muncul sebagai calon presiden atau calon wakil presiden untuk Pilpres 2024.

Budaya oligarki ditubuh partai politik di Indonesia.

Budaya oligarki yang masih sangat kental mewarnai proses kaderisasi kepemimpinan  yang dilakukan oleh partai-partai politik di Indonesia, disinyalir menjadi pemicu utama terjadinya kegagalan yang dialami oleh partai-partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa.

Oligarki sendiri adalah sebuah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang.

Jika kita perhatikan nama-nama bakal calon presiden 2024 yang bermunculan belakangan ini dari hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey, maka kita akan menemukan sebagian besar diantara nama-nama tersebut adalah ketua umum atau ketua DPP dari partai-partai politik yang ada di Indonesia.

Selain itu, seperti sudah menjadi budaya didalam partai politik yang ada di Indonesia, jika seolah-olah selalu memasang target bahwa ketua umum mereka harus diplot menjadi capres atau cawapres.

Hal tersebut diatas menunjukkan sebuah fakta, bahwa pengambilan keputusan politik oleh partai politik dalam menentukan calon-calon pemimpin di pemerintahan masih sangat bersifat elitis, yakni sangat bergantung pada sekelompok elite dalam partai politik itu sendiri, sehingga proses kaderisasi kepemimpinan sebagaimana yang diharapkan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Idealnya, setiap partai politik yang ada di Indonesia minimal harus mempuyai dua atau tiga nama figur kader yang potensial untuk dicalonkan sebagai capres atau cawapres diluar nama ketua umum partai politik.

Hal ini juga berlaku sama didaerah dalam proses pencalonan kepala daerah dalam ajang pilkada, baik untuk tingkat provinsi maupun ditingkat kabupaten/kota.

Jika hal tersebut bisa terwujud, maka fungsi kaderisasi yang dijalankan oleh partai politik baru bisa dikatakan berjalan.

Yang terjadi saat ini nampaknya justru sebaliknya. Partai politik sering kali mencomot nama-nama calon pemimpin potensial dari kalangan diluar kader partai. Kemudian setelah yang bersangkutan terpilih menjadi pemimpin di pemerintahan, barulah mereka ditarik masuk menjadi anggota partai politik yang mengusungnya.

Atau dengan kata lain, partai-partai politik saat ini bukan menjadi produsen calon-calon pemimpin dengan memaksimalkan fungsi kaderisasi kepemimpinan yang dimilikinya, tapi malah sebaliknya partai politik justru menjadi konsumen dengan hanya menerima bersih calon pemimpin yang telah ditempa oleh ekosistem diluar partai politik.

Itulah mengapa, penulis berani menyebut bahwa partai politik saat ini telah gagal dalam menjalankan fungsi kaderisasi kepemimpinan yang dimilikinya.

Demikian, dari Jambi untuk Kompasiana. Semoga bermanfaat!

Pematang Gadung, 20 November 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun