Mohon tunggu...
Sultoni
Sultoni Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Politik dan Kebijakan Publik AMATIRAN yang Suka Bola dan Traveling

Penulis lepas yang memiliki ketertarikan pada isu-isu sosial politik, kebijakan publik, bola dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Politik Dinasti di Indonesia

9 November 2022   21:57 Diperbarui: 17 November 2022   10:02 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Pasal 7 huruf "r" UU Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan bahwa persyaratan untuk menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Sedangkan didalam penjelasan Pasal 7 huruf "r" tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.

Namun upaya pemerintah untuk menekan praktik politik dinasti di Indonesia melalui UU Nomor 8 Tahun 2015 ini akhirnya harus kandas setelah MK mengeluarkan putusan Nomor 33/PPU-XIII/2015.

Dalam putusan MK Nomor 33/PPU-XIII/2015 yang diajukan oleh salah seorang anggota DPRD dari Provinsi Sulawesi Selatan periode 2014-2019 bernama Adnan Purichta Ichsan, S.H ini, MK memutuskan bahwa Pasal 7 huruf "r" beserta penjelasannya dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 mengenai persyaratan calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam pertimbangannya MK beralasan, bahwa Pasal 7 huruf "r" UU Nomor 8 Tahun Tahun 2015 bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Di mana dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Sedangkan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945 berbunyi, "setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan".

Dengan demikian, pasca dibacakannya putusan MK Nomor 33/PPU-XIII/2015 yang menganulir Pasal 7 huruf "r" UU Nomor 8 Tahun 2015 beserta penjelasannya, maka boleh dibilang bahwa saat ini praktik politik dinasti adalah sesuatu hal yang sah dan legal menurut regulasi hukum yang berlaku di Indonesia.

Hal inilah yang kemudian menjadi dilema tersendiri, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat secara luas.

Di satu sisi, politik dinasti jelas merupakan suatu hal yang berbahaya bagi kelangsungan demokrasi karena menyuburkan perilaku nepotisme serta berpotensi menghambat menculnya pemimpin-pemimpin politik yang berkualitas.

Namun di sisi lain, pelarangan seseorang yang memiliki pertalian darah dengan pemegang tampuk kekuasaan untuk terjun ke dunia politik dan pemerintahan justru bertentangan dengan UUD NRI 1945.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun