Efek negatif dari politik dinasti bagi kehidupan berdemokrasi
Pada zaman pra kemerdekaan, politik dinasti adalah hal yang lumrah dan wajar karena kondisi politik saat itu memang masih kental dengan budaya oligarki dan budaya kerajaan.
Namun pasca kemerdekaan, di mana sistem pemerintahan Indonesia telah berubah yang mana awalnya terdiri dari beberapa kerajaan-kerajaan kecil di nusantara kemudian bersatu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sistem pemerintahannya yang demokratis. Maka dengan demikian, politik dinasti sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan karena sudah tidak lagi sesuai dengan sistem negara yang demokratis.
Meskipun harus diakui, bukan perkara mudah untuk melakukan pergeseran budaya dari oligarki menjadi demokrasi tersebut.
Berikut beberapa efek negatif dari politik dinasti terhadap kehidupan berdemokrasi:
1. Politik dinasti erat kaitannya dengan perilaku nepotisme
Perilaku nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara yang secara melawan hukum melakukan tindakan yang dapat menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam politik dinasti sendiri, biasanya sang aktor yang sedang berkuasa akan selalu menjadikan perilaku nepotisme sebagai sebuah cara untuk mengamankan kekuasaan politik yang dimiliki saat ini melalui proses regenerasi kepada para anggota keluarga atau kroni-kroninya setelah ia tidak lagi menjabat.
Atau bisa juga dikatakan bahwa praktik politik dinasti adalah wujud dari aji mumpung atau privilese yang dimiliki seseorang yang masih berkuasa.Â
Akibat buruk dari perilaku nepotisme ini adalah dapat menyebabkan kekuasaan hanya berpusat pada keluarga (dinasti) tertentu saja.