2. Politik dinasti menyulitkan terwujudnya birokrasi yang profesional
Politik dinasti dapat menyebabkan terbentuknya birokrasi patrimonial, yaitu hubungan birokrasi antara patron dan klien yang sifatnya pribadi.Â
Karenanya, hubungan birokrasi yang harusnya profesional malah menjadi ajang pertukaran kepentingan karena bercampur baurnya antara kepentingan umum dengan kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok.
3. Politik dinasti menghambat proses regenerasi pemimpin yang berkualitas
Dalam sistem politik yang lebih mementingkan hubungan kekerabatan dari pada kualitas personal, maka proses regenerasi pemimpin-pemimpin dibidang politik dan pemerintahan yang berkualitas akan sulit terwujud.
Proses merit system yang seyogyanya bisa menjadi tempat kaderisasi calon pemimpin terbaik dari yang terbaik tidak akan bisa berjalan.
Karena dalam politik dinasti, suksesi calon kepemimpinan diranah politik dan pemerintahan telah dipersiapkan sedemikian rupa oleh segelintir elit politik pemegang tampuk kekuasaan.
Dilema politik dinasti di Indonesia
Meskipun kita semua sepakat bahwa politik dinasti berpotensi menyuburkan praktik nepotisme, namun ternyata saat ini tidak ada satu aturan pun yang melarang praktik politik dinasti ini dilaksanakan di Indonesia.
Pemerintah memang pernah berupaya untuk memutus mata rantai politik dinasti ini dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.Â
Dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 ini pemerintah memperketat persyaratan untuk menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota untuk meminimalisir terjadinya politik dinasti.