DPP Apdesi adalah singkatan dari Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia. DPP Apdesi saat ini dipimpin oleh Surta Wijaya, yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Babakan Asem, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten periode 2019-2025.
Sedangkan Apdesi merupakan singkatan dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia. Apdesi sendiri saat ini dipimpin oleh Arifin Abdul Majid, sebagai ketua umum untuk masa bhakti 2021-2026.
Arifin Abdul Majid adalah mantan Kepala Desa Bojong Sari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat periode 1998-2007.
Dua organisasi yang menaungi aparatur pemerintah desa ini memang hampir serupa tapi tak sama, bedanya hanya pada penggunaan kata DPP saja.Â
Keduanya juga sama-sama menghimpun aparatur pemerintah desa, baik yang masih aktif maupun yang purna tugas sebagai anggotanya.
Dikutip dari Kompas.com, Kemendagri, melalui dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, mengakui bahwa kedua organisasi ini sama-sama sah dan terdaftar di Kemendagri sesuai dengan Undang-Undang Ormas Nomor 17 tahun 2013.
Namun baru-baru ini viral dijagad media sosial, khususnya dikalangan aparatur pemerintah desa, tentang beredarnya surat Rekomendasi Audiensi yang dikeluarkan oleh pengurus DPP Apdesi pimpinan Surta Wijaya.
Surat Rekomendasi Audiensi bernomor 094/B/DPP-APDESI/X/2022 tersebut bertanggal 17 Oktober 2022 dan  diduga ditujukan untuk Presiden Jokowi.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Surta Wijaya selaku Ketua Umum DPP Apdesi dan Asep Anwar Sadat sebagai Sekjen tersebut, berisi 11 poin rekomendasi yang akan disampaikan oleh DPP Apdesi kepada Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri.
Dari 11 poin rekomendasi audiensi yang dirilis oleh DPP Apdesi tersebut, ada beberapa poin utama yang menjadi usulan DPP Apdesi, diantaranya perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun untuk satu periode masa jabatan, pemberian izin cuti bagi Kepala Desa yang akan mencalonkan diri sebagai anggota DPR/DPRD, dan BOP 3 % dari Dana Desa yang dispesifikasi menjadi tambahan kinerja untuk Kepala Desa.
Namun yang membuat heboh aparatur pemerintah desa, khususnya Perangkat Desa se-Indonesia adalah poin ke 4 dari rekomendasi audiensi yang berasal dari DPP Apdesi tersebut.
Poin ke 4 rekomendasi audiensi tersebut berbunyi "masa jabatan Perangkat Desa sama dengan masa jabatan Kepala Desa". Dengan kata lain, masa jabatan Perangkat Desa diusulkan menjadi 6 tahun atau sama dengan masa jabatan Kepala Desa.
Padahal dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa, jelas disebutkan bahwa Perangkat Desa dapat diberhentikan setelah genap berusia 60 tahun, kecuali meninggal dunia, mengundurkan diri, berhalangan tetap, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Perangkat Desa atau melanggar larangan sebagai Perangkat Desa.
Sontak, surat rekomendasi audiensi yang dikeluarkan oleh DPP Apdesi ini langsung menuai kecaman dari seluruh Perangkat Desa se-Indonesia.
Organisasi-organisasi yang menaungi Perangkat Desa seperti Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan Dewan Pengurus Nasional Persatuan Perangkat Desa Indonesia (DPN PPDI) bereaksi keras dengan menolak rekomendasi audiensi dari DPP Apdesi khususnya poin nomor 4.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan secara tertulis, PP PPDI tegas menolak rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPP Apdesi dan meminta agar kedepan DPP Apdesi tidak mengeluarkan statement yang menimbulkan polemik atau mencederai Perangkat Desa seluruh Indonesia.
Meskipun keberatan dari organisasi yang menaungi Perangkat Desa tersebut telah diklarifikasi oleh Ketua Umum DPP Apdesi, dengan mengatakan bahwa draf rekomendasi audiensi yang beredar dimedia sosial adalah draf yang belum diresmikan oleh DPP Apdesi untuk disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri, namun beredarnya draf rekomendasi audiensi tersebut telah terlanjur mencederai ribuan Perangakt Desa yang ada di Indonesia.
Karena rekomendasi dari DPP Apdesi tersebut dinilai tidak mencerminkan aspirasi dari aparatur pemerintah desa secara keseluruhan, tapi lebih mengutamakan kepentingan dari pribadi Kepala Desa semata.Â
Hal ini terlihat jelas khususnya dalam poin 2,3,4,5,6,8,10 dan 11 dari isi rekomendasi DPP Apdesi tersebut.
Rekam Jejak DPP Apdesi yang Kontroversial
Ditahun 2022 ini saja, tercatat DPP Apdesi sudah dua kali membuat pernyataan yang menuai kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
Pertama, diakhir Maret 2022 yang lalu, ketua umum DPP Apdesi membuat sebuah pernyataan kontroversial yang menggegerkan publik. Yakni mendukung agar Presiden Jokowi bisa menjabat presiden selama tiga periode.
Dikutip dari Tribunnews.com, pernyataan tersebut disampaikan Surta kepada awak media setelah acara Silaturahmi Nasional APDESI 2022, di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022).
Surta mengatakan bahwa setelah Lebaran akan ada deklarasi dukungan Jokowi tiga periode dari DPP Apdesi.
Pernyataan kontroversial Surta tersebut jelas tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur tentang masa jabatan presiden, serta tidak mencerminkan sama sekali aspirasi dari aparatur pemerintah desa se Indonesia.
Apalagi jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa bahwa aparatur pemerintah desa dilarang ikut terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Kedua, dipertengahan Oktober  2022 beredar rekomendasi audiensi dari DPP Apdesi.
Surat rekomendasi dari DPP Apdesi ini berisi 11 poin usulan yang akan disampaikan kepada presiden melalui Mendagri.
Ke 11 poin rekomendasi tersebut dinilai oleh kalangan aparatur pemerintah desa, khususnya Perangkat Desa, tidak mencerminkan keinginan dari aparatur pemerintah desa secara keseluruhan, tapi lebih mencerminkan kehendak para Kepala Desa secara pribadi yang tergabung dalam DPP Apdesi.
Padahal sesui dengan namanya, sebagai organisasi yang menaungi aparatur pemerintah desa, DPP Apdesi seharusnya juga mendengar dan menampung aspirasi dari Perangkat Desa sebagai salah satu bagian dari unsur pemerintah desa.
Atas kontroversi-kontroversi yang ditimbulkan oleh DPP Apdesi tersebut, maka adalah hal yang wajar apabila kemudian muncul desakan-desakan agar organisasi DPP Apdesi tidak mengeluarkan statement yang justru merugikan aparatur pemerintah desa secara keseluruhan.
Karena statment-statment kontroversial tersebut dapat menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu ditengah-tengah masyarakat.
Jika ingin menyuarakan aspirasi atau kepentingan pribadi Kepala Desa, maka akan lebih elegan jika tidak menggunakan nama Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia, tapi Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia.
Ada apa dengan DPP Apdesi?
Entahlah, yang jelas saat ini DPP Apdesi terlihat lebih mementingkan kepentingan pridadi dan kelomponya sebagai Kepala Desa dibanding kepentingan bersama sebagai aparatur pemerintah desa.
(Penulis adalah seorang mantan Perangkat Desa dan sampai saat ini tercatat masih aktif sebagai anggota PPDI di Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H