Mohon tunggu...
Andi Kristiawan
Andi Kristiawan Mohon Tunggu... -

Saya bekerja di Yayasan Dinamika Edukasi Dasar Yogyakarta. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan. Yayasan DED Dibawah Keuskupan Agung Semarang. Saya bergabung dengan DED sejak tahun 2008.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Literasi Menjadikan Siswa Happy

28 Agustus 2017   11:58 Diperbarui: 28 Agustus 2017   12:13 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Lebih jauh literasi merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan. Maka Literasi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia yang terus menerus belajar, karena literasi manusia dapat mengetahui berbagai macam perkembangan ilmu pengetahuan. Terkait hal tersebut budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan. Saat ini budaya tersebut belum menjadi kebutuhan dan masih jauh dari harapan. Hal ini terlihat dalam prestasi di dunia pendidikan dibandingkan dengan Negara lain seperti Malaysia. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah budaya membaca masih rendah. Masyarakat Indonesia sebagian besar lebih suka menonton TV dan bermain game.

Data dari REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA-Budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia Satria Darma mengatakan, berdasarkan survei banyak lembaga internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan negara lain di dunia.

"Ironisnya, banyak guru dan birokrat pendidikan termasuk pejabat belum paham juga apa itu literasi," ujarnya saat menjadi pembicara di sebuah seminar di Jogja Expo Center, Ahad (14/12).

Seminar nasional ini digelar oleh Program Studi Bimbingan Konseling dan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) FKIP Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta. Menurut Satria Dharma, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Literasi merupakan jantung kemampuan siswa untuk belajar dan berhasil di sekolah. Juga dalam menghadapi berbagai tantangan pada abad 21.

Satria mengatakan, hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.

Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti. "PISA menyebutkan, tak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi ditingkat kelima, hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu," ujarnya.

Ia pun melansir data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen.

Ia menilai rendahnya budaya literasi di Indonesia, salah satu penyebabnya karena pejabat dan birokrat pendidikan tidak paham tentang literasi itu sendiri. Akibatnya, literasi tidak menjadi bagian dari kurikulum, termasuk dalam Kurikulum 2013.

Penyebab lainnya, Satria melanjutkan, budaya menonton masyarakat Indonesia yang tinggi. Hal ini melemahkan minat membaca dan menulis siswa di Indonesia. "Saat ini kegiatan utama keluarga di Indonesia adalah nonton TV," ujarnya.

Berdasarkan data BPS, ia mengatakan, jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia dalam menonton televisi adalah 300 menit per hari. Jumlah ini terlalu besar dibanding anak-anak di Australia yang hanya 150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari. Sementara di Kanada 60 menit per hari.

Untuk meningkatkan budaya literasi, Satria mencontohkan kesuksesan Kota Surabaya. Kota ini memiliki beberapa program untuk meningkatkan minat baca dan tulis masyarakatnya melalui gerakan budaya literasi kota. "Program ini menerapkan budaya membaca dan menulis secara berkelanjutan, baik di sekolah, di perguruan tinggi, maupun di masyarakat," katanya.

Gerakan ini mewajibkan masyarakat, siswa, mahasiswa, dan semua penduduk Surabaya membaca minimal 15 menit dalam sehari. Melalui gerakan itu, dia berharap, kemampuan literasi Indonesia akan semakin meningkat sehingga generasinya akan semakin siap menghadapi persaingan.

Di sisi lain sejak kecil kita sudah terbiasa dengan bahasa lisan yang di dapat dari keluarga. Sebagian orang tua memberikan dongeng anak-anaknya sebelum tidur. Bangun tidur kita diajak bermain sambil makan, dengan alasan supaya kita (anak) makannya banyak. Ketika itu jarang sekali kita diberi buku bacaan pada orang tua kita. Ketika masuk SD kita jarang, bahkan tidak pernah diberi berbagai buku bacaan. Padahal di SD kelas 1 dan 2 adalah masa-masanya anak senang melihat gambar di buku yang dikombinasikan dengan tulisan. Bahkan lebih ironis lagi banyak SD yang tidak memiliki perpustakaan karena dianggap tidak begitu penting.

Kalaupun memiliki perpustakaan banyak yang tidak terurus karena tidak memiliki pustakawan. Demikian pula waktu SLTP, di SLTP kita jarang berkunjung ke perpustakaan, bahkan dapat dikatakan tidak pernah. Sewaktu SLTA masih sama jarang sekali ke perpustakaan. Walaupun tidak secara keseluruhan, akan tetapi sebagian besar mengalami hal yang sama.

Hal tersebut di atas banyak terjadi di sekolah-sekolah daerah. Walaupun sudah memiliki gedung yang megah, fasilitas yang memadai, keinginan membaca masih rendah.

Berangkat dari keprihatinan tersebut di SD Eksperimental Mangunan membangun kebiasaan membaca hening setiap hari Senin sampai Jumat selama 15 menit. Khusus hari Selasa 35 menit untuk menulis atau menggambar. Selian kebiasaan terebut SD Eksperimen Mangunan memiliki pembelajaran khas Membaca Buku Bagus dan jam perpustakaan 1JP setiap kelasnya. Dengan cara tersebut siswa dipaksa membaca dan menulis, pada awalnya siswa terpaksa, dan pada akhirnya siswa menjadi terbiasa. Kebiasaan tersebut sudah lama dibangun guna memperluas cakrawala pandang siswa.

Dari kebiasaan yang dibangun anak menjadi senang bahkan hobi membaca dan menulis. Saat ini anak berkunjung ke perpustakaan tidak hanya saat jam perpustakaan akan tetapi setiap istirahat, pulang sekolah, bahkan selesai olahraga anak lari ke perpustakaan untuk membaca atau meminjam buku. Dari hobi membaca mereka menelurkan karya fiksi dan karya gambar. Saat ini sudah ada dua karya siswa yang sudah diterbitkan yaitu Ini Karyaku, Mana Karyamu? Persahabatan Di Sekolahdan Ini Karyaku, Mana Karyamu? Sumpah Pemuda. Bukan hanya dua karya tersebut yang akan dihasilkan siswa, akan tetapi masih banyak karya yang masuk ke perpustakaan untuk menjadi sebuah karya cetak. Sekali lagi ini bukti betapa siswa yang dulunya dipaksa membaca, dengan terpaksa membaca, dan pada akhirnya mereka terbiasa membaca. Siswa happy belajar litersi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun