Jika PDIP memenangkan pemilu 2014, maka sejatinya itu bukan sebuah kejutan karena parpol bernomor urut 4 ini memang sudah diprediksi memenangkannya melalui banyak lembaga survey. Suara PDIP naik sekitar 5% jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Pemilu 2009, PDIP meraup 14.03% suara, sedangkan pemilu kali ini parpol besutan Megawati ini mendapatkan perolehan 19.21% suara.
Namun, yang menjadi kejutan adalah, menurut banyak pengamat, ternyata Jokowi Effect tidak berpengaruh besar. Lagi-lagi survey sebelumnya salah melakukan prediksi. Jika dulu banyak survey yang memprediksi PDIP akan memenangkan pemilu dengan angka lebih dari 30% - dengan pertimbangan sosok Jokowi - ternyata suara PDIP anjlok di angka 19%. Ini berarti bahwa tidak ada jalan lain selain melakukan koalisi dengan parpol lainnya untuk mengusung pasangan capres-cawapres. Skenario awal dimana PDIP berhasrat ingin mengusung pasangan capres-cawapres sendiri berjalan tidak mulus.
Partai Golongan Karya (Golkar)
Selain PKS, Golkar juga menunjukkan persentasi suara yang stabil seiring pertambahan jumlah total pemilih. Jika di Pemilu 2009 lalu Golkar mendapatkan suara 14.45%, maka kali ini persentasenya hanya bertambah sekitar 0.5% menjadi 14.99%. Partai dengan warna kebesaran kuning ini berada pada posisi ke-2 di bawah PDIP pada perhelatan kali ini.
Tidak ada kejutan besar yang terjadi dengan hasil ini. Yang menjadi salah satu isu terhangat dengan perolehan ini adalah isu koalisi dan isu evaluasi pencapresan ARB. Ketum Golkar ini terbukti tidak mampu membawa Golkar untuk move on dari perolehan persentase sebelumnya secara signifikan. ARB yang dinilai bertanggung jawab atas belum terselesaikannya kasus Lumpur Lapindo menjadi salah satu faktor utama stagnannya suara Golkar. Belum lagi beberapa isu yang muncul beberapa waktu yang lalu terkait dengan foto ARB bersama Marcella Zalianty yang sedang berlibur di Maladewa.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
Harus diakui bahwa Gerindra tidak mengharapkan persentase suara yang "hanya" sebesar 11.77%. Jika bercermin pada pemilu 2009, partai ini seharusnya sumringah karena terjadi peningkatan suara drastic dari 4.46%.
Namun, hasil 11.77% suara Gerindra pemilu kali ini menyimpan kekecewaan. Apa pasal? Tidak lain karena semakin susahnya melakukan koalisi. Dengan aturan 25% suara nasional, maka Gerindra harus melakukan koalisi dengan beberapa partai untuk mengusung Prabowo. Itupun akan terjadi jika parpol-parpol lain siap untuk berkoalisi. Sampai saat sekarang ini, baru PPP saja yang kemungkinan besar akan bergabung dengan Gerindra. Walaupun begitu, dengan tambahan 6.71% suara dari PPP, maka totalnya belum mencapai 25%. Intinya, bagi pengurus Gerindra, terlebih lagi Prabowo, hasil ini adalah "kejutan" bagi mereka.
Partai Demokrat (PD)
Jika PKS mampu bertahan atas berbagai serangan terkait isu korupsi, namun tidak dengan PD. Tahun 2009, PD berhasil menjadi jawara dengan 20.85% suara. Pemilu kali ini, SBY harus legowo dengan 9.45% suara. Terjadi penurunan drastis sekitar 11% suara. Penurunan suara ini sesungguhnya bukan merupakan kejutan luar biasa karena memang telah diprediksi sebelumnya. Yang menjadi luar biasa adalah penurunan sebesar 11% itu.
Isu korupsi menjadi salah satu penyebab terbesar yang kemudian disusul oleh konflik internal yang melibatkan mantan Ketum PD, Anas Urbaningrum. Belum lagi serangan bertubi-tubi dari partai oposisi terhadap kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat. Kejutan lain yang mungkin bias diambil dari fenomenan PD ini adalah tidak mampunya gaung konvensi menyalakan ketertarikan publik ke PD. Tokoh-tokoh yang ikut konvensi juga tidak memberikan dampak besar terhadap elektabilitas PD. Bahkan, dalam acara Mata Najwa tadi, Dahlan Iskan menyampaikan permintaan maaf kepada PD karena dia menganggap bahwa dirinya tidak mampu mengangkat elektabilitas partai.