Mohon tunggu...
Sukamto Mamada
Sukamto Mamada Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir dan besar di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Merantau ke Bumi Anging Mammiri. Bekerja di Unhas. Sekarang lagi nyangkut di USA. Salam kenal semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Re-evaluasi, Pemecatan sampai Pengkhianatan: Potret Potensi Konflik Internal Parpol Menjelang Pilpres 2014

13 April 2014   03:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:45 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah quick count (QC) pileg 2014 dirilis, sejak itu pula parpol-parpol mulai bergerilya. Beragam wacana koalisi pun mulai dibangun. Bongkar pasang skema koalisi oleh para pengamat pun bertebaran. Harus diakui bahwa salah satu hal penting yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak diluar hasil pileg adalah skema koalisi yang terbangun. Banyak orang yang menunggu dengan penasaran bagaimana koalisi untuk mengusung pasangan capres-cawapres terbentuk. Tentu saja, koalisi bukanlah hal yang dengan mudah ditentukan. Banyak kesepakatan, janji, platform, ideologi, bahkan logistik yang harus dibicarakan antar parpol untuk mencari kesamaan sebagai dasar sebuah koalisi.

Akan tetapi, alih-alih memulai penjajakan koalisi dengan baik, beberapa partai justru masih disibukkan dengan masalah internal yang telah, sedang, atau sepertinya akan muncul. Konflik internal dalam tubuh sebuah parpol itu sedikit banyak akan menjadi ganjalan dalam proses pembentukan koalisi, bahkan bisa sampai berpengaruh pada kontestasi pilpres nanti.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Mungkin inilah partai yang paling bergejolak menjelang pilpres nanti. Gejolak ini muncul dan memuncak tatkala sang ketua umum, Suryadharma Ali (SDA), menghadiri kampanye terbuka Partai Gerindra di Gelora Bung Karno pada tanggal 23 Maret 2014. Kedatangan itu tentu saja menjadi salah satu indikator secara langsung bahwa PPP akan melakukan koalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai capres.

Sontak saja kedatangan SDA itu membuat sebagian pengurus teras PPP kaget bukan kepalang. Sebut saja Emron Pangkapi, sang wakil ketua umum. "Orang-orang bawah sedang bertempur, ketuanya malah menyerahkan kepala ke partai lain. Itu membuat yang berada di tingkat bawah menangis dan kesal," tukas Emron.

Kasus ini terus berlanjut. Menurut isu yang beredar, nasib Suryadharma akan ditentukan di Mukernas PPP yang akan dihelat pada akhir April ini. Isu pemecatan SDA pun mulai berhembus. Manuver politik SDA ternyata justru memunculkan konflik internal di PPP yang bukan tidak mungkin akan berdampak pada peta koalisi partai ini dengan Gerindra.

Partai Golongan Karya (Golkar)

Jika ada partai yang ketua umumnya terus digoyang proses pencapresannya, maka Golkar adalah jawabannya. Nasib Aburizal Bakrie (ARB) memang selalu saja dikelilingi oleh isu re-evaluasi pencapresannya. Sejak tahun lalu, karena elektabilitas yang tidak menunjukkan peningkatan signifikan, beberapa faksi di internal Golkar mulai mencuatkan isu evaluasi pencapresan ARB. Salah satu faksi yang paling getol mengusung hal ini adalah faksi dari Akbar Tandjung.

Elektabilitas ARB yang sangat rendah dibandingkan dengan beberapa capres partai lain, seperti Jokowi dan Prabowo Subianto, sering dikait-kaitkan dengan kasus Lumpur Lapindo yang sampai sekarang masih menyisakan masalah. Kasus pengemplangan pajak pun bisa menjadi faktor lain. Terakhir, sebuah video yang diunggah ke Youtube yang memuat konten saat ARB berlibur dengan artis wanita di Maladewa.

Berhasil meredam isu tersebut pada pra-pileg, ARB kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa Golkar ternyata hanya mampu meraih sekitar 14% suara pemilih. Jika bercermin pada 2009, perolehan ini sejatinya mengecewakan karena terjadi stagnasi raupan suara. Lagi-lagi dengan pencapaian di pileg ini, pencapresan ARB kembali digoyang oleh internal Golkar. Agung Laksono pun mendukung wacana evaluasi ini, walaupun dia belum memastikan apakah evaluasi ini akan berkaitan dengan penggantian ARB sebagai capres Golkar.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Sebenarnya di antara partai-partai peserta pemilu, PKB-lah yang paling berbahagia. Pencapaiannya kali ini begitu membelalakkan mata. Kenaikan 2 hampir 100% dari pemilu 2009 membuat sang Ketua Umum, Muhaimin Iskandar, begitu sumringah. Dengan peroleh sekitar 9% suara nasional, PKB menjadi salah satu partai yang paling dikejar untuk dijadikan partner koalisi oleh parpol posisi 3 besar.

Hasil yang didapatkan PKB ini tidak lepas dari strategi jitu PKB untuk menjual nama-nama tenar yang digadang-gadang akan dicapreskan. Mahfud MD, Jusuf Kalla dan Rhoma Irama menjadi 3 tokoh yang "dijual" untuk menarik minat pemilih. Alhasil, strategi ini dianggap tepat karena terbukti PKB mampu menaikkan perolehan suaranya 2 kali lipat.

Namun, euforia ini bisa saja berakhir tidak mengenakkan saat mendekati ajang pembentukan koalisi. Beberapa media menurunkan tulisan bahwa ternyata Cak Imin juga mengincar posisi wapres untuk mendampingi Joko Widodo. Secara sepintas, tidak ada yang salah dengan hal ini. Akan tetapi, keinginan Cak Imin ini sepertinya mungkin akan mendapatkan penentangan dari pihak-pihak yang sejak awal mendukung pengusungan 3 nama sebelumnya untuk dimajukan sebagai cawapres. Bahkan, Cak Imin akan dianggap menjadi seorang pengkhianat oleh nahdliyin jika tetap saja berani memajukan dirinya sebagai cawapres dari PKB dan mengesampingkan nama-nama sebelumnya yang justru telah "dijual" untuk menggaet suara pemilih.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)

Sejatinya, tidak perlu ada masalah yang muncul dengan PDIP terkait pencapresan Joko Widodo. Hal ini disebabkan oleh elektabilitas Joko Widodo yang masih berada di posisi atas dalam bursa pencapresan. Namun, baru saja ada media yang memberitakan bahwa Puan Maharani mengusir Joko Widodo dari kediamannya. Berita ini langsung dibantah oleh fungsionaris PDIP, Eva Kusuma Sundari. Dia mengatakan bahwa berita itu tidak benar.

Entah ini adalah sebuah isu yang benar atau tidak, satu hal yang pasti, PDIP memang tidak terlalu berbahagia dengan perolehan suara 19% di pileg kali ini. Hasil ini jauh dari ekspektasi awal yang menargetkan suara lebih dari 30%. Jokowi Effect yang selama ini diharapkan mampu memenangkan PDIP secara telak, ternyata tidak terlalu "menggigit". Atas dasar itulah, menurut sumber berita di atas, Puan menjadi sangat kecewa kepada Jokowi. Apakah hal ini akan menjadi awal dari munculnya konflik internal di tubuh PDIP yang berujung pada pencabutan mandat Jokowi? Kita tunggu saja.

***

Munculnya faksi-faksi dalam internal sebuah parpol sudah dipandang sebagai hal yang biasa. Tidak ada yang salah dengan faksi-faksi itu sepanjang tidak menggerogoti eksistensi partai atau dalam hal ini, proses pencapresan. Faksi-faksi itu akan menjadi sangat berbahaya jika ternyata keberadaan faksi akan menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan sebuah partau atau organisasi. Hal inilah yang perlu segera dipulihkan agar tidak terjadi efek lanjutan. Inilah mungkin yang menjadi dasar seorang SBY menyingkirkan kader Demokrat yang memiliki hubungan erat denga faksi Anas Urbaningrum. Terlepas dari cara penyingkirannya, kiranya SBY telah "berhasil" meredam berkembangnya faksi yang dianggap bisa menghancurkan partai.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun