Tulisan ini ingin menanggapi hitung-hitungan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Coronavirus Disease-19 (COVID-19) yang disajikan pada artikel Harian Kompas bertajuk "Indonesia Tak Akan Resesi meski Ekonomi Jakarta Dihentikan demi Tangani Covid-19". Saya merasa bahwa analisis dan perhitungan yang disajikan terjangkit masalah simplifikasi akut dan menyembunyikan masalah yang lebih besar.Â
Bagi saya, masalah wabah ini lebih dari sekedar hitung-hitungan nilai produksi saja. Banyak hal lainnya yang tidak terukur dalam satuan moneter yang juga akan berdampak pada perekonomian nasional.Â
Lebih dari itu, ilmu ekonomi, sebagai bagian dari rumpun ilmu sosial, juga perlu mempertimbangkan manusia dan kemanusiaannya sebagai objek kajian.
 Pada artikel tersebut, wartawan Kompas M. Fajar Marta menyebutkan:
Pada 2019, produk domestik regional bruto DKI Jakarta sebesar Rp 2.840,83 triliun. Jika dibagi per hari, PDRB Jakarta sebesar Rp 7,78 triliun. Apabila aktivitas ekonomi dihentikan selama dua minggu atau 14 hari, PDRB yang hilang sebesar Rp 108,9 triliun. Apa artinya? Meskipun PDRB menguap sebesar Rp 108,9 triliun, perekonomian Jakarta pada 2020 akan tetap tumbuh karena delta pertambahan PDRB Jakarta rata-rata Rp 200 triliun per tahun.
Membumikan ilmu ekonomi menjadi hal yang mudah dipahami awam salah satu aspek penting, entah bagi sarjana ekonomi maupun wartawan. Namun, perhitungan kasar seperti ini mengaburkan banyak aspek penting lainnya. Huruf delta dalam alfabet Yunani dalam matematika menyimbolkan perubahan nilai suatu hal antar periode waktu atau, dalam hal ini, antar tahun.Â
Lebih umum kita kenal sebagai pertumbuhan ekonomi. Rp108,9 triliun dan Rp200 triliun yang disebutkan hanyalah nilai barang atau jasa yang dihasilkan. Banyak aspek lainnya yang tidak masuk dalam perhitungan kerugian apabila terjadi lockdown atau penguncian sementara.Â
Asumsikan apabila memang benar DKI Jakarta akan kehilangan hasil produksi senilai Rp108,9 triliun akibat lockdown selama dua minggu, tentu pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta akan jauh lebih kecil dari Rp200 triliun akibat produktivitas yang hilang selama periode tersebut.Â
Masalah lainnya yaitu risiko pemutusan hubungan kerja (PHK). Ilmu ekonomi melihat ketidakpastian sebagai potensi risiko yang dianggap merugikan. Apabila sebagian tidak keberatan dengan hilangnya potensi produktivitas, bagaimana dengan timbulnya potensi beban baru yang muncul?Â
Penurunan aktivitas ekonomi akan mendorong perusahaan untuk menekan ongkos yang, salah satunya, mungkin akan berujung pada pemutusan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja pun belum tentu akan menyelesaikan masalah perusahaan mengingat Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat severance pay yang tinggi.
Bagi karyawan yang kehilangan pekerjaan, kerugian yang dialami bisa beragam mulai dari kerugian materiil seperti hilangnya potensi pendapatan dan turunnya konsumsi, hingga immateriil berupa kekhawatiran atau putusnya sekolah anak akibat tidak bisa membayar SPP.
Tanpa implementasi respon pencegahan yang baik pun, kerugian ekonomi akan tetap terjadi. Korban meninggal akibat wabah ini bisa saja memakan korban tenaga terdidik seperti dokter dan perawat.Â
Selain itu, hilangnya kepuasan dan kebahagiaan akibat penderitaan yang dialami pasien juga akan meluas apabila laju penularan tidak dikontrol. Belum lagi tekanan psikologis yang dialami penderita akibat stigma masyarakat (Baca: Ditolak karena Korona). Tidak semua kerugian yang dialami dapat dinyatakan dengan satuan uang. Namun demikian, hal tersebut tidak menganulir fakta bahwa kejadian tersebut adalah bentuk kerugian.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah sikap yang memihak salah satu sisi pada mosi 'apakah lockdown seharusnya diterapkan?' Tulisan ini hanya ingin mengedukasi masyarakat dengan memberikan dasar kokoh pada opini publik dan menjernihkan air keruh tentang timbang-menimbang implementasi lockdown.
Tulisan wartawan tentu seyogyanya tidak mengundang kepanikan masyarakat, tetapi menenangkan dengan menyepelekan seperti yang telah dilakukan Menteri Terawan pada beberapa kesempatan sebelumnya juga tidak akan membuahkan kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H