Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masalah Hidup dan Masalah Bahasa

26 Mei 2020   09:04 Diperbarui: 26 Mei 2020   09:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, isi kepalaku disesaki lamunan soal bahasa. Kubilang lamunan sajalah, karena kalau kubilang renungan, rasanya kok macam menyanjung diri sendiri.

Hari ini, rata-rata pastilah sudah menguasai lebih dari satu bahasa. Tidak masalah kalaupun baru menguasai bahasa daerah dan bahasa nasional.

Tidak masalah. Cuma, rasanya, jika ingin lebih baik, rasa-rasanya perlu menguasai lebih banyak bahasa lagi. Sebab, banyak bahasa itu terkadang bisa membantu menuntaskan lebih banyak masalah.

Boleh ditambah bahasa Arab, Inggris, Prancis, Jerman, Mandarin, Belanda, Spanyol, Italia, atau apa saja yang lazim digunakan untuk pergaulan lebih luas.  

Lha, tapi kan sekarang sudah ada Google Translate? Iya, sih. Cuma, mosok internet semakin berisi, kepala kita dibiarkan kekurangan isi.

Teknologi kan mestinya membantu kepala kita untuk semakin berisi.

Sebab, jika hidup adalah perang, maka isi kepala adalah amunisi yang sering berpengaruh pada kondisi seseorang mati sia-sia di medan perang atau menjadi pemenang.

Atau, kalau hidup adalah perjalanan, maka isi kepala adalah peta, yang membantu memperlihatkan mana saja jalan yang mesti ditempuh untuk bisa tiba ke tujuan.

Isi kepala berupa bahasa, kurasa juga begitu. Merasa cukup hanya dengan satu dua bahasa, mungkin memang cukup. Namun, itu cukup untuk kita berada di mana, bukan cukup untuk kita ketika ingin ke mana.

Dalam pergaulanku, rata-rata yang kutemui menguasai lebih dari dua bahasa. Bahkan ada yang menguasai lebih dari lima bahasa.

Terkadang, iri juga melihat mereka yang banyak menguasai bahasa. Sebab, ini menjadi pertanda, bahwa mereka bisa menghadapi tantangan hidup lebih jauh lagi. Hidup mereka pun menjadi lebih berisi.

Paling tidak, dengan kemampuan berbahasa lebih banyak, mereka pun bisa menuntaskan masalah lebih banyak.

Sederhananya, dalam mencari bacaan, dengan bahasa lebih banyak, mereka bisa membaca lebih banyak, menemukan solusi lebih banyak.

Inilah kenapa, jika kemampuan berbahasa terbatas, bukan mustahil daya jangkau nalar akan terbatas. Jangankan membaca bahasa asing, membaca bahasa sendiri saja kerap kali pusing dan bahkan tidak paham.

Buktinya, bacaan-bacaan tidak jelas saja sering dibagi di media sosial dengan penuh semangat. Akhirnya, alih-alih mendapat manfaat, justru kerap hanyut dalam debat, sementara hidup tetap jalan di tempat.

Sudah. Jangan merasa tersindir. Aku cuma lagi menyindir diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun