Beberapa hari lalu, saya tumpahkan kegelisahan di beranda facebook. Isinya tentang cerita wabah corona yang menimpa dua tetangga. Sebelumnya hanya berjarak 300 meter, dan terkini hanya berjarak 100 meter.
Tertekan. Inilah yang sangat terasakan. Bagaimana tidak, hanya dalam hitungan bulan, virus yang awalnya hanya ada di Wuhan, Tiongkok, kini justru sudah di depan rumah. Bisa dibilang begitulah.Â
Setiap kali menatap wajah si kecil yang baru menjelang lima tahun, yang terbetik di pikiran adalah harapan supaya jangan pernah virus itu mengarah ke rumah. Sebab sulit membayangkan jika virus itu menimpa bocah yang belum terlalu tahu bagaimana wajah dunia di sekelilingnya.
Parno, kata orang. Ya, saya juga mengalami keparnoan ini. Terlebih setelah melihat sebuah video yang sempat beredar di media sosial tentang bocah yang terisolasi sendiri di sebuah kotak kaca, dengan sorot mata tidak mengerti kenapa dia harus berada di sana.Â
Stres, tentu saja.Â
Alhasil, pikiran semakin dihantui ketakutan tidak menentu, dan terkadang was-was setiap kali ada yang bertandang ke rumah, entah dari RT yang biasa memungut iuran sampah atau tetangga yang ingin sejenak singgah.
Saya pribadi pernah hidup di daerah yang mengalami perang, hingga tamparan gempa dan tsunami yang bikin daerah itu centang perenang. Itu pernah terasa sangat mengerikan, karena kepastian berumur panjang sama sekali tidak ada jaminan. Namun kondisi terkini di tengah pandemi corona agaknya tidak kalah mengerikan.
Bahkan terkadang terpikir bahwa kondisi saat ini jauh lebih menegangkan, karena virus itu sulit diketahui akan masuk ke dalam rumah lewat mana saja. Dari keresek belanjaan sampai dengan paket pesanan istri kerap jadi pemicu ketegangan.Â
"Jangan-jangan keresek ini ada virusnya!"
"Jangan-jangan paket itu sempat dipegang orang yang terjangkit corona!"
Kondisi istri hamil hingga ia membutuhkan laundry pun terpaksa saya minta hentikan.Â
"Jangan laundry dulu. Pakai saja mesin cuci kita sendiri, dan setrika cuma jika sedang kuat saja. Kita tidak tahu, di laundry itu pakaian kita dipegang oleh pekerja yang sehat atau tidak."
Begitulah gambaran kecemasan hingga ketakutan yang sempat muncul.Â
Namun perlahan, terpikir, bahwa yang dibutuhkan di tengah kondisi sekarang bukanlah ketakutan. Tidak ada ketakutan yang membawa kebaikan jika berlebihan.Â
Maka itu, sehari-hari, selain tetap berkutat dengan pekerjaan yang mesti tetap dikerjakan dari rumah, selalu berusaha menenangkan diri. Entah lewat salat, meditasi, mendengarkan musik, sampai dengan bermain masak-masakan dengan si kecil.Â
Tidak gampang keluar dari ketegangan. Namun bagaimanapun saat ini yang dibutuhkan tetap saja adalah ketenangan. Inilah yang selalu saya usahakan untuk terus diciptakan, setidaknya di rumah sendiri.Â
Terutama setiap kali melakukan meditasi, berkonsentrasi pada pernapasan, terus memberikan mantra-mantra agar bisa tenang, entah nasihat ahli spiritual atau pakar-pakar psikologi.Â
Sebab, di saat-saat begini, yang bisa merusak dan membunuh tidak hanya virus corona, melainkan juga ketegangan dan perasaan tertekan. Maka itu, kalaupun memanfaatkan waktu di media sosial pun, apa yang saya usahakan untuk bisa dibagi adalah hal-hal yang menghibur dan menenangkan.
Tidak selalu berhasil, namun paling tidak dengan itu sudah membantu diri sendiri untuk bisa melepaskan ketegangan dan menghadirkan ketegangan.
Tidak jauh berbeda di tengah medan peperangan. Wajah tegang dan tidak tenang sering menjadi sasaran kematian, sebab itu sering dipengaruhi perasaan dan pikiran buruk hingga mendatangkan akibat buruk. Jadi, marilah saling berbagi hal-hal menenangkan, bukan menegangkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H