Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Jangan Merasa Rugi Membeli Buku

15 November 2019   07:50 Diperbarui: 15 November 2019   23:59 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang akhir tahun ini, buku menjadi sesuatu yang paling banyak saya beli dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Sebab, di bulan-bulan lain, paling banyak hanya tiga buku per bulan. Sementara belakangan, mencapai belasan buku terbeli. 

Kalau mau hitung-hitungan, betul, ada jutaan uang yang mesti dikeluarkan untuk memindahkan buku-buku itu dari rak di toko buku ke rak buku pribadi. Nah, jika Anda harus mengeluarkan uang segitu untuk buku, apakah Anda pernah merasa rugi?

Ya. Saya sendiri akan menjawab begitu. Sebab, memang betul, di masa lalu pernah merasa kehilangan uang, ketika "kerasukan" membeli buku ratusan ribu. Alasannya sederhana, saat itu saya sempat merasa itu sebagai pemborosan. 

Baru beberapa tahun terakhir saja sudut pandang terkait urusan beli-beli buku tidak lagi terasa sebagai sesuatu yang bikin rugi. Ini bukan soal karena memiliki pendapatan lebih banyak dibandingkan dulu, melainkan sepenuhnya karena pergulatan pengalaman dalam merasakan manfaat dari berbagai buku. 

Buku semakin terasa sebagai sesuatu yang melebihi investasi. Pasalnya, jika investasi memberikan keuntungan terbatas, buku bisa saya bilang memberikan banyak hal yang tidak terbatas. 

Ia mampu membuka jalan untuk keuntungan secara finansial, di satu sisi, namun di sisi lain ia juga menjadi matahari dalam bentuk aksara, memberikan cahaya ketika pikiran terasa sulit menyala hingga terpaksa meraba-raba ketika harus bekerja.

Keuntungan finansial bisa dibilang sebagai bagian kecil dari manfaat besar yang dapat diberikan buku. Maka itu, keuntungan ini tidak bisa dibilang sebagai pencapaian puncak. 

Sejujurnya, saya pribadi pun mendapatkan banyak keuntungan finansial secara tidak langsung dari buku-buku yang saya punya. Sebab, memang tanpa perlu membaca buku khusus "bagaimana mencari uang?" tetap saja uang datang. Sebab dari buku-buku itu diajarkan bagaimana memberi lebih dulu, dan soal apa yang bisa didapatkan, akan menyusul dengan sendirinya.

Begini. Dari buku, semua memang diawali dengan memberi. 

Pertama, mau mengeluarkan uang untuk membayar buku yang ingin dibeli. Kedua, mau memberikan waktu, dari mencari buku yang diinginkan sampai dengan waktu untuk membaca. Ketiga, memberi pekerjaan kepada tangan untuk membuka halaman demi halaman buku, memberi kesempatan pada mata untuk membaca huruf demi huruf sampai kata, kalimat, paragraf, hingga bab demi bab.

Jadi, sekali lagi, buku memang mengajak untuk mengawali dengan memberi. Hanya mereka yang mau memberi maka mereka pantas untuk mendapatkan hasil dari apa yang diberi. 

Sekadar memburu apa yang bisa didapatkan, cenderung melelahkan, ditambah lagi terusik dengan angan, kapan sesuatu bisa didapatkan? 

Memberi, cenderung melegakan, hingga mereka yang mau memberi cenderung lebih ringan dalam melihat berbagai persoalan. Tidak merasakannya sebagai beban, namun lebih melihatnya sebagai tantangan.

Mereka yang gemar membaca buku, saya yakini, kebanyakan akan merasa begitu. Setidaknya, jika boleh "mengukur sepatu dari kaki sendiri" dalam konteks buku dan membaca, hampir tidak ada penikmat membaca merasakan kegiatan ini sebagai beban. 

Mereka hanya akrab dengan perasaan tertantang; kapan gue bisa punya pikiran sehebat ini? kapan gue bisa punya pandangan seluas ini? dlsb.

Itu yang akhirnya bikin pembaca buku semakin haus dan semakin haus. Itu yang bikin mereka tidak ingin berhenti menenggak dan terus menenggak "minuman" yang disajikan lewat gelas-gelas berupa kata, kalimat, hingga paragraf dalam berbagai buku. 

Mereka mabuk di sana! Tentu saja, mabuk dimaksudkan di sini bukanlah kehilangan kemampuan berpikir, melainkan mereka semakin bisa menikmati aktivitas membaca dan berpikir sekaligus. Mabuk begini terkadang memang bikin pusing juga sih, namun hampir dipastikan melegakan setelahnya. 

Sebab, dengan "mabuk buku" tidak ada apa pun yang rusak, melainkan justru banyak hal diperbaiki; sel otak hingga kemampuan menalar dan memahami berbagai persoalan.

Itulah kenapa, bukan cuma saya, namun umumnya penikmat buku cenderung melihat manfaat buku daripada sekadar memusingkan uang yang mesti dikeluarkan untuk membeli buku. 

Sebab, uang itu sendiri terlepas cepat atau lambat, dapat dipastikan akan kembali, dan yang jauh lebih penting adalah kesempatan menjadi manusia yang memiliki pikiran yang jauh lebih baik.

Terlebih bukan rahasia, sebagian besar orang bisa melakukan sesuatu yang lebih baik, karena ia membiasakan diri mengisi pikiran dengan banyak hal yang lebih baik. 

Pikiran baik juga yang menggerakkan banyak orang ke tempat-tempat lebih baik, sebagaimana pikiran buruk mengantarkan pemilik pikiran ke tempat-tempat buruk.

Jadi, itulah kenapa, saya pikir, jangan pernah merasa rugi jika harus mengeluarkan uang untuk buku, dan memberikan waktu untuk menyempatkan diri untuk membacanya. Sebab, setiap pemberian untuk sesuatu yang baik, biasanya akan membawa banyak hal yang jauh lebih baik. Gimana? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun