Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cerita dari Gedung Tua Museum Bank Indonesia

26 Oktober 2019   07:04 Diperbarui: 26 Oktober 2019   19:02 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sesi acara di Museum Bank Indonesia - Foto: Kevin/Adica

Lebih dari 50 penulis Kompasiana meramaikan bangunan tua Museum Bank Indonesia, Jumat 25 Oktober 2019. Bangunan museum itu sendiri memang sudah berubah jika dibandingkan dengan awal berdirinya, dari De Javasche Bank menjadi Museum Bank Indonesia, di Kota Tua, Jakarta Barat.

Namun ada hal yang tidak berubah jika dikaitkan dengan para penulis Kompasiana (Kompasianer), yakni antusiasme dan gairah untuk bersilaturahmi dan berdiskusi. 

Meskipun Kompasiana sendiri sudah berusia 11 tahun, atau memasuki usia baligh, namun kegembiraan yang sempat saya lihat 10 tahun lalu -saya mulai menulis saat Kompasiana baru berusia satu tahun- masih mengental hingga hari ini. 

Seakan ada keseiramaan antara Museum Bank Indonesia yang menjadi lokasi acara, dengan para Kompasianer. Museum ini kokoh meski telah berusia ratusan tahun, dan kekokohan itu juga seakan menyatu dengan para penulis Kompasiana. 

Semestinya, entah pengelola Kompasiana atau para penulisnya dapat menyerap pesan yang diberikan tembok-tembok bisu museum yang menyimpan sejarah panjang ini. 

Pesan itu adalah mampu bertahan lama, mampu menyelaraskan diri dengan zaman, tetap menampilkan kekhasan, dan tidak rontok meskipun zaman berganti. Di samping, juga menjaga kekokohan meskipun harus menghadapi berbagai macam musim.

Setidaknya, kekokohan museum itu, hingga hari berkumpulnya para Kompasianer di Museum Bank Indonesia memang menyatu dengan puluhan tamu dari para pecinta penulisan tersebut.

Ya, kehadiran saya dan puluhan Kompasianer ke Museum Bank Indonesia kali ini memang bukan atas nama Kompasianer atau Kompasiana saja. Namun, ada Bank Indonesia sebagai tuan rumah. 

Meskipun begitu, para Kompasianer sama sekali tidak diposisikan sebagai "orang asing" di sana. Melainkan disambut tak ubahnya pemilik rumah, yang pulang ke rumah sendiri.

Apalagi, di acara kali ini juga terdapat Direktur Komunikasi Bank Indonesia Junanto Herdiawan, yang terkenal "gila nulis" dan terbilang getol menulis di Kompasiana sejak tahun pertama platform media warga ini berdiri. 

Ia pun tampil berbicara di sini sama sekali tidak berlagak pejabat sebuah bank sentral, melainkan benar-benar berbicara selayaknya sahabat yang bersua sahabat-sahabatnya.

Kehangatan yang muncul satu dekade lalu, masih belum lekang dari Kompasiana hari ini. Junanto sendiri menjadi bukti dari kehangatan tersebut, entah dari tangan yang berjabat erat, hingga diskusi-diskusi yang mengalir tanpa menggurui. 

Inilah kelebihan Kompasiana. Tidak ada cerita siapa yang menjadi pejabat atau siapa lebih dulu terjun menulis di sini, sebab cerita yang ada adalah hasrat berbagi karena Kompasianer memang disatukan oleh satu semangat; semangat berbagi itu sendiri.

"Saya sendiri cukup terbantu dengan adanya Kompasiana. Nggak cuma menjembatani saya berjumpa Presiden Joko Widodo, tapi saya juga terpacu untuk aktif menulis hingga menelurkan banyak buku," kata Junanto.

Salah satu pemandangan di Museum Bank Indonesia, membawa pesan agar jangan ada yang dicampakkan atau ditelantarkan - Foto: Zulfikar Akbar
Salah satu pemandangan di Museum Bank Indonesia, membawa pesan agar jangan ada yang dicampakkan atau ditelantarkan - Foto: Zulfikar Akbar

Nurulloh yang sejak awal Kompasiana berdiri masih betah mengurus media warga ini, pun bercerita banyak bahwa pengelola terus menerus berusaha untuk bisa memastikan media ini semakin membaik. Di samping, ia juga menegaskan keinginan untuk dapat pula memberikan yang terbaik untuk para penulis. 

"Jujur saja, nih, Kompasiana memang sempat mengalami turun naik. Itu terjadi bertahun-tahun," kata dia. "Namun, kami terus menggali apa saja masalahnya, dan berusaha untuk menemukan penyebab, termasuk saat jumlah konten tulisan menurun. Meski begitu, tentunya kami tidak diam saja, tapi terus melakukan pembenahan tanpa henti, dengan mengacu pada data-data yang kami catat serinci mungkin."

Ya, saya yang telah sepuluh tahun berkiprah di sini, walaupun terkadang juga "angin-anginan" dalam berbagi lewat tulisan atau sekadar saling sapa, juga melihat sendiri berbagai persoalan yang memang tak terhindarkan.

Tak jarang, saya juga gusar. Misal, saat menulis secara khusus untuk Kompasiana seperti saat berada di Maluku Tenggara, eh dikacangin pengelola Kompasiana. 

Mereka seperti lupa, bahwa untuk lahirnya sebuah artikel itu butuh modal belasan juta, dari tiket pesawat, transportasi laut dan darat, dan tentu saja waktu. 

Terlebih artikel-artikel itu ditulis dalam kondisi fisik lelah, karena digarap di medan yang memang berat; akses internet terbatas hingga perjalanan di sana yang memang sangat menyita tenaga.

Namun, dalam kasus artikel "dikacangin" tadi, saya masih berusaha untuk objektif saja. Jangan-jangan memang kualitas tulisan itu sendiri belum layak mendapatkan tempat khusus, walaupun itu adalah artikel "mahal"--ingat harga tiket pesawat, men!

Artinya, memang ada beberapa kekurangan dan keterbatasan, baik di lingkaran pengelola dan juga para penulis di sini sendiri. Pengelola sudah mati-matian berusaha melayani sebaik-baiknya, namun masih saja ada kurangnya. 

Sementara penulis, pun tak sedikit yang hidup mati, karena saat kuota terbatas pun, mereka tetap berusaha menulis walaupun harus menumpang wifi tetangga! (Belum tentu dapat ganjaran uang lagi, eh).

Itu memang beraroma candaan, tetapi sebenarnya serius, bahwa tidak sedikit dari para penulis Kompasiana yang memiliki penghasilan terbatas, pekerjaan tidak tetap, namun mereka tetap berusaha menulis. 

Jadi, pengelola Kompasiana jangan sampai "dikutuk" orang-orang ini, karena doa orang dizalimi itu cepat dikabulkan Allah! (Agak berbau Majalah Hidayah, ya? Gapapa, deh!)

Artinya, kembali agak serius nih, sejatinya memang ada dedikasi yang kuat entah dari para pengelola Kompasiana sendiri hingga para penulis di sini. Pengelola terus menunjukkan dedikasi dalam pengelolaannya, dan penulis menunjukkan dedikasi dengan tulisan-tulisan bernasnya. 

Dedikasi itu sejatinya sesuatu yang mahal. Bahkan, kalaupun perusahaan yang menaungi Kompasiana mampu menggaji pekerjanya dengan lancar, tapi mereka tidak akan mampu membayar dedikasi dari pekerjanya. 

Juga takkan bisa membayar para penulis yang sukarela memberikan waktu, tenaga, dan pikiran lewat konten-konten mereka.

Saya sendiri, saat masih bekerja serabutan saja, masih berusaha keras untuk dapat menulis di Kompasiana. Setidaknya di sini juga saya belajar untuk mengenal dan mengakrabi dedikasi, atau berbuat dan berbagi dengan sepenuh hati sebagai pengorbanan untuk sesuatu yang dicintai. 

Kompasiana sampai di usia 11 tahun masih menjadi platform blog yang masih dicintai. 

Tinggal pada perusahaan yang menaungi Kompasiana sendiri, setelah pengelola memberikan dedikasi--meski bergaji terbatas, katanya--dan penulis di sini pun tak kurang dedikasi untuk berbagi, kalian sendiri tertarik menunjukkan dedikasi untuk kedua pihak ini, tidak? 

Lha, saya menulis begini, karena mengamati juga bagaimana beratnya mereka yang bekerja di "dapur" Kompasiana. Dari menghadapi kerewelan-kerewelan para penulis, dan pastinya menghadapi bos-bos mereka yang kuyakini tak kalah rewel.

Di sini, saya sendiri tertarik dengan pandangan-pandangan Nurulloh, yang tampaknya punya cita-cita bisa memberi lebih banyak untuk anak buahnya dan juga para penulis di Kompasiana. 

Sayang sekali, dia bukan pemilik perusahaan. Jadilah ia cuma bisa melempar gagasan dan berusaha agar gagasannya dapat disambut baik oleh atasan-atasannya lagi di sana. Di mana? Embuh!

Apakah ide-ide Nurulloh dan para anak buahnya di dapur Kompasiana akan disambut para atasan yang lebih mirip dewa -karena tidak dekat dengan para penulis Kompasiana- atau tidak digubris sama sekali? Entahlah. 

Sebab, sepanjang sepuluh tahun bergelut di Kompasiana, sih, saya selalu yakin, mereka para pengelola ini adalah figur-figur yang sangat serius, terlepas mereka acap menutupi luka dengan canda. 

Begitu juga para penulis, pun tak kalah serius, dan itu terbukti tidak cuma dari tulisan-tulisan mereka yang membanjiri Kompasiana, tapi juga hampir selalu "banjir" setiap kali ada acara diadakan media keroyokan ini.

Namun, lagi-lagi, seberapa seriuskah "para dewa" di perusahaan yang menaungi Kompasiana dalam melihat keseriusan mereka?

Dalam acara sore hari di Museum Bank Indonesia, saya berusaha menggali bagaimana pihak Bank Indonesia -katakanlah mewakili mitra- melihat Kompasiana. 

Cukup terang terlihat, keberadaan Kompasiana sangat dihargai. Konten-konten yang ada di sini tidak kalah dengan penulis profesional -lha iya, emang banyak juga penulis profesional di sini, sih.

"Sebelumnya, kami pernah mengadakan perlombaan tentang keuangan melalui wadah lain, namun tidak sesuai ekspektasi. Berbeda ketika kami mengadakan itu lewat Kompasiana, pesan yang ingin kami sampaikan kepada publik lebih terasa, lho!" kata Mbak Cantik yang lupa kutanyakan nama dan nomor hape-nya. Ya, gimana, kalau sudah punya anak dan istri, sulit buat melatih bakat berburu nomor hape, sih. 

Bahkan, salah satu petinggi Bank Indonesia, di atas panggung, menegaskan bahwa bank sentral ini ingin dapat terus bekerja sama dengan Kompasiana. Sebab, ia terbuka mengatakan, hasil dari kampanye mereka bersama Kompasiana, sangat menggembirakan. 

Sekarang, tinggal lagi ke pemilik perusahaan yang menaungi Kompasiana, sih. Kalian punya cita-cita menggembirakan para penulis dan karyawan yang mengurus Kompasiana, nggak, sih? 

Saya sendiri terkadang pura-pura bahagia, lha menulis dua artikel panjang lebar, meriset dalam-dalam, berusaha mengurai dan mengolahnya sebaik mungkin, cuma diganjar 1 gram emas. 

Yah! Mengeluh begitu kok tiba-tiba saya merasa dua malaikat pencatat amal umat manusia mendadak judes. Duh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun