Kehangatan yang muncul satu dekade lalu, masih belum lekang dari Kompasiana hari ini. Junanto sendiri menjadi bukti dari kehangatan tersebut, entah dari tangan yang berjabat erat, hingga diskusi-diskusi yang mengalir tanpa menggurui.Â
Inilah kelebihan Kompasiana. Tidak ada cerita siapa yang menjadi pejabat atau siapa lebih dulu terjun menulis di sini, sebab cerita yang ada adalah hasrat berbagi karena Kompasianer memang disatukan oleh satu semangat; semangat berbagi itu sendiri.
"Saya sendiri cukup terbantu dengan adanya Kompasiana. Nggak cuma menjembatani saya berjumpa Presiden Joko Widodo, tapi saya juga terpacu untuk aktif menulis hingga menelurkan banyak buku," kata Junanto.
Nurulloh yang sejak awal Kompasiana berdiri masih betah mengurus media warga ini, pun bercerita banyak bahwa pengelola terus menerus berusaha untuk bisa memastikan media ini semakin membaik. Di samping, ia juga menegaskan keinginan untuk dapat pula memberikan yang terbaik untuk para penulis.Â
"Jujur saja, nih, Kompasiana memang sempat mengalami turun naik. Itu terjadi bertahun-tahun," kata dia. "Namun, kami terus menggali apa saja masalahnya, dan berusaha untuk menemukan penyebab, termasuk saat jumlah konten tulisan menurun. Meski begitu, tentunya kami tidak diam saja, tapi terus melakukan pembenahan tanpa henti, dengan mengacu pada data-data yang kami catat serinci mungkin."
Ya, saya yang telah sepuluh tahun berkiprah di sini, walaupun terkadang juga "angin-anginan" dalam berbagi lewat tulisan atau sekadar saling sapa, juga melihat sendiri berbagai persoalan yang memang tak terhindarkan.
Tak jarang, saya juga gusar. Misal, saat menulis secara khusus untuk Kompasiana seperti saat berada di Maluku Tenggara, eh dikacangin pengelola Kompasiana.Â
Mereka seperti lupa, bahwa untuk lahirnya sebuah artikel itu butuh modal belasan juta, dari tiket pesawat, transportasi laut dan darat, dan tentu saja waktu.Â
Terlebih artikel-artikel itu ditulis dalam kondisi fisik lelah, karena digarap di medan yang memang berat; akses internet terbatas hingga perjalanan di sana yang memang sangat menyita tenaga.
Namun, dalam kasus artikel "dikacangin" tadi, saya masih berusaha untuk objektif saja. Jangan-jangan memang kualitas tulisan itu sendiri belum layak mendapatkan tempat khusus, walaupun itu adalah artikel "mahal"--ingat harga tiket pesawat, men!
Artinya, memang ada beberapa kekurangan dan keterbatasan, baik di lingkaran pengelola dan juga para penulis di sini sendiri. Pengelola sudah mati-matian berusaha melayani sebaik-baiknya, namun masih saja ada kurangnya.Â