Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Membaca Langkah Indonesia di Kancah Perang Dagang

27 Mei 2019   06:21 Diperbarui: 29 Mei 2019   12:40 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di tengah perang dagang dua raksasa ekonomi dunia, Indonesia masih bisa menunjukkan mental raksasa - Foto: Kompas.com

Di luar perang, hal lain yang paling menakutkan bagi banyak orang adalah krisis ekonomi. Alasannya jelas, sebab kedua kondisi ini sama-sama menakutkan dan sama-sama bisa menghancurkan. Maka itu, menggali sejauh mana kekuatan "pertahanan" Indonesia sendiri dalam menghadapi ancaman ekonomi global akan selalu menarik sekaligus mendebarkan. 

Hari ini, Venezuela menjadi bagian cerita nyata dari alasan kenapa krisis ekonomi bisa sangat menakutkan. Di samping, negara inilah yang paling menggambarkan bagaimana efek dari krisis ekonomi. 

Mereka mengalami inflasi luar biasa, yang bahkan--menurut International Monetary Fund--menembus 10 juta persen. Sebelumnya, di antara negara-negara di Amerika Latin, Venezuela di masa lalu terkenal sebagai negara paling kaya. 

Sementara kini, mata uang mereka sama sekali tidak berharga. Bahkan menurut laporan VOA, masyarakat negara tersebut akhirnya memilih untuk saling barter untuk menggantikan jual beli lazimnya di masa sekarang.

Membaca potensi krisis, dari negara besar hingga negara kecil

Saat ini, setidaknya ada dua kondisi serius yang dapat menjadi pemicu masalah ekonomi global. Satu di antaranya adalah perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok sebagai dua raksasa ekonomi dunia semakin memanas.

Berdasarkan laporan terkini, per Mei 2019, Donald Trump sebagai orang nomor satu "Negeri Paman Sam" mengambil langkah dengan menaikkan tarif hingga 25 persen untuk produk-produk yang berasal dari Tiongkok. Tentu saja, itu setara dengan 200 miliar dollar AS.

Tak tanggung-tanggung, kebijakan ini dilakukan AS terhadap produk Tiongkok, mencakup air conditioner (AC) hingga kasur, dari sepeda sampai dengan peralatan sedot debu. 

Bahkan menurut CNN, Presiden AS akan menambah jenis produk impor yang akan menjadi sasaran kenaikan tarif masuk tersebut. Selain peralatan elektronik semisal gawai (gadget), juga akan menyasar mainan anak hingga pakaian.

Tentu saja, perang dagang pun tak berbeda dengan peperangan lazimnya. Terkadang, semakin kuat suatu pasukan, maka dapat saja mereka mengalami kerugian yang juga semakin besar. AS sendiri harus berhadapan dengan fakta akibat perang dagang tersebut. Salah satunya, sektor ritel "Negeri Paman Sam" terkena imbasnya. 

Di Asia Tenggara, Singapura yang konon sebagai salah satu negara terkuat secara ekonomi juga sempat mengalami dampak dari perang dagang. Negara yang dulu dikenal dengan nama Temasek ini mencatat pertumbuhan ekonomi terendah dalam sepuluh tahun terakhir.

Menurut laporan situs CNBC per 21 Mei 2019, pertumbuhan ekonomi Singapura hanya menjangkau angka 1,2 persen year on year. Sebelum itu estimasi pemerintah negara tetangga ini, mereka bisa mencatat pertumbuhan 1,3 persen.

Patut dicatat, 10 tahun lalu, Singapura sempat mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 1,7 persen. Maka itu, kondisi terkini dapat dikatakan sebagai sebuah pukulan serius terhadap negeri jiran ini. Penyebabnya, hanya lantaran sektor manufaktur mengalami kontraksi lantaran perang dagang.

Menyikapi itu, pemerintah Singapura terpaksa menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019. Mereka hanya dapat menetapkan proyeksi 1,5 hingga 3,5 persen untuk tahun ini. 

Keempat pimpinan dalam organisasi KSSK, menjadi aktor-aktor penting dalam kebijakan ekonomi Indonesia - Foto: Tirto.id
Keempat pimpinan dalam organisasi KSSK, menjadi aktor-aktor penting dalam kebijakan ekonomi Indonesia - Foto: Tirto.id

Persiapan BI dan pemerintah

Bank Indonesia (BI) sudah memprediksi berbagai kemungkinan tersebut. Bahkan "suhu panas" ekonomi global itu akan sangat dipengaruhi oleh semakin memanasnya perang dagang AS dan Tiongkok.

The Fed sebagai "penguasa" urusan moneter di AS, juga sudah diprediksi akan menahan laju peningkatan Fed Fund Rate atau suku bunga antar bank "Negeri Paman Sam". 

Selain itu, juga masih ada persoalan terkait dengan no-deal Brexit, atau masalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE). Perdana Menteri Theresa May berpolemik dengan parlemen Inggris, dan di sisi lain mereka harus memastikan kesepakatan dengan UE. 

Saat pemerintah Inggris ingin keluar dengan tetap menjalin hubungan dengan UE, parlemen menginginkan Inggris keluar begitu saja tanpa perlu memusingkan organisasi negara-negara "Benua Biru" tersebut.

Theresa May berkali-kali sudah mengajukan proposalnya, namun parlemen tak kunjung merestuinya. Di pihak lain, para petinggi UE sendiri sudah tak sabar dengan sikap Inggris. Tak pelak, PM Inggris itu sendiri belakangan mempertaruhkan posisinya.

Kembali ke BI sendiri, bank sentral ini pun jauh-jauh hari sudah memprediksi bahwa pada tahun 2019 pertumbuhan ekonomi domestik diproyeksikan akan berada pada kisaran 5,0% -- 5,4%. 

Keyakinan BI ini cukup beralasan, lantaran memang masih kuatnya permintaan domestik seiring dengan terjaganya daya beli dan keyakinan konsumen, serta investasi yang tetap kuat. Dengan pertumbuhan tersebut, siklus keuangan Indonesia diperkirakan masih memberikan ruang bagi peningkatan intermediasi perbankan.

Di sini cukup terlihat, di tengah berbagai negara lainnya berupaya keras untuk dapat menangkal kemungkinan nasib serupa terjadi, Indonesia melalui bank sentral pun sudah mempersiapkan "pertahanan" agar tidak hancur digempur krisis.

Pertahanan itu bernama makroprudensial atau kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik--merujuk buku Mengupas Kebijakan Makroprudensial (2016).

Kenapa makroprudensial menjadi penting, tak lain karena--jika sepakat menyebutnya sebagai pertahanan--maka inilah jurus penting untuk membendung kemungkinan buruk terjadi. 

Mengutip pandangan mantan Gubernur BI Agus D.W Martowardojo dengan bahasa sederhana, membantu supaya bisa meningkatkan efektivitas pengendalian risiko sistemik dan ketidakseimbangan keuangan. Dengan begitu, stabilitas sistem keuangan dapat tercapai. 

Tak dapat ditampik, pada 2018 lalu pihak BI sendiri mengakui bahwa keuangan Indonesia sempat berada dalam kondisi tertekan. Meskipun begitu, dalam hal ketahanan, indikator kinerja sistem keuangan secara umum masih terjaga dengan baik.

Maka itu, terlepas berbagai kondisi yang sempat terjadi pada tahun lalu, kebijakan makroprudensial memperlihatkan buahnya. Intermediasi atau keterhubungan perbankan mencatat pertumbuhan hingga 11,8 persen. Ini merupakan rapor tertinggi dalam empat tahun terakhir.

Melihat lagi pencapaian BI

Terbukti, apa yang saat ini terjadi di Indonesia tidak meleset dari proyeksi yang dirilis oleh bank sentral sebelumnya, walaupun kita memang masih tetap pantas berharap lebih baik. 

Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia per triwulan pertama tahun ini mencapai 5,07 persen. 

Bagaimana dengan situasi ekonomi global? Menurut Kepala BPS Suhariyanto, perekonomian global di triwulan pertama 2019 pun melambat jika dibandingkan triwulan keempat tahun lalu. Di samping, juga ada pengaruh lagi dari harga komoditas migas dunia yang juga menurun pada triwulan satu.

Menghadapi situasi itu, Gubernur BI Perry Warjiyo pun memastikan pemerintah saat ini pun sudah memetakan berbagai potensi risiko dan bagaimana menghadapi berbagai kemungkinan.

Maka itu, jika menyimak proyeksi para pakar pun, ada keyakinan positif bahwa perekonomian Indonesia setidaknya masih dapat tumbuh hingga 5,19 persen secara tahunan.  Jika ini tercapai, tentunya akan lebih baik dibandingkan kuartal pertama tahun lalu yang hanya 5,06 persen (YoY), dan kuartal keempat 2018 yang mencatat 5,18 persen.

Kenapa masih ada harapan positif? Dalam Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No. 32, Perry Warjiyo menggambarkan bagaimana otoritas keuangan Indonesia membaca persoalan. Menurut Perry, ketidakpastian perekonomian global yang terus meningkat memang memberikan tekanan bagi stabilitas sistem keuangan Indonesia. 

Adanya sentimen negatif perang dagang, kuatnya indikasi perlambatan ekonomi global, serta berlanjutnya normalisasi kebijakan moneter AS mengurangi risk appetite investor global terhadap aset keuangan negara emerging market, termasuk Indonesia. 

Maka itu, agar bisa menjaga daya tarik aset pasar keuangan domestik, BI juga sempat kembali menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 75 bps selama semester II 2018 ke level 6%. 

Tak hanya itu, menurut Perry Warjiyo, sejauh ini BI telah mengambil kebijakan makroprudensial akomodatif dengan tetap melakukan koordinasi dan sinergi antara Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 

Bersama OJK, pihak BI melakukan sinergi kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial sekaligus. Sementara dengan LPS, bank sentral berkoordinasi khusus untuk menangani bank bermasalah, mengikuti amanat UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

Untuk penguatan koordinasi multilateral sektor keuangan dilakukan dalam kerangka Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk pencegahan dan penanganan krisis. 

Lembaga ini sendiri, KSSK, dapat dibilang sebagai rumah bagi keempat institusi tersebut, lantaran dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan pimpinan ketiga institusi lainnya saling berkoordinasi.

Di luar keempat institusi yang berpayung di bawah KSSK itu, BI pun tetap berperan aktif dalam fora internasional sektor keuangan, antara lain melalui keanggotaannya dalam Financial Stability Board (FSB) terkait dengan reformasi sektor keuangan global. 

Dampak positif dari keselarasan yang terbangun dari keempat lembaga ini pun kini dapat terlihat dari kinerja sistem keuangan hingga ketahanan. Terutama terkait kinerja sistem keuangan, hasil positif itu sudah terlihat dari intermediasi hingga efisiensi. 

Terbukti, di tengah gonjang-ganjing krisis internasional, Indonesia masih bisa mencatat pertumbuhan ekonomi dan bahkan masih tetap kuat.

Kita pantas optimistis 

Benar, Indonesia bukanlah raksasa di antara para raksasa yang bertarung di kancah perang ekonomi. Namun setidaknya Indonesia sudah menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi badai besar. 

Indonesia masih bisa menunjukkan mental yang tidak kalah dibandingkan raksasa tersebut. Terbukti, terlepas adanya turun naik, Indonesia sempat mencatatkan rekor sebagai mata uang terkuat di Asia.

Bukti terdekat, Jumat 25 Mei 2019, mata uang negara-negara maju seperti Jepang (Yen) dan Korea Selatan (Won) sempat mengalami pelemahan terhadap dollar AS, masing-masing 0,06 persen dan 0,03 persen.

 Sedangkan Indonesia mencatat penguatan hingga 0,28 persen, sementara negara-negara tetangga seperti Singapura hanya menguat 0,06 persen dan Malaysia hanya 0,03 persen.

Ringkasnya, berbagai langkah yang sudah dilakukan pemerintah dan bank sentral tak dapat dipandang enteng. Di tengah badai besar, ada keringat dan pikiran besar yang sudah dibuktikan dengan hasil-hasil yang sudah tercapai.

Apalagi lembaga-lembaga besar dunia di ranah moneter seperti IMF pun menunjukkan penghargaan atas Indonesia. Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde pada 2018 lalu sempat menegaskan bahwa Indonesia hari ini sudah berbeda jauh dibandingkan saat menghadapi goncangan pada era 1990-an.

Pujian Lagarde tak dapat dikatakan hanya isapan jempol. Melainkan dunia juga melihat, meskipun bertahap, namun Indonesia mampu mencatat pertumbuhan dari tahun ke tahun. Inflasi tetap rendah dan terkontrol, di sisi lain tingkat kemiskinan pun menurun.

Merujuk pandangan Lagarde, di antara hal-hal kenapa ekonomi Indonesia hari ini tetap meyakinkan, juga tidak lepas dari kondisi perbankan hingga restrukturisasi yang gencar dilakukan pihak berwenang.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun