Berpendidikan tinggi, pernah dipandang sebagai guru bangsa, dan memiliki banyak pengagum. Ketiga kelebihan itu tak terpisahkan dari sosok Amien Rais. Tampaknya, hal itu telah menjadi masa lalu, karena belakangan ia lebih gemar menampilkan sisi lain, yang berbeda dari sebelumnya.
Di masa lalu, bagi yang rajin mengikuti pemikiran-pemikirannya seputar kebangsaan dan keindonesiaan, pikiran-pikiran Amien sangat meneduhkan. Buku-buku yang ia tulis pun banyak yang terbilang masterpiece dalam konteks semangat berbangsa.Â
Sebab, ia pernah tampil dengan wajah teduh dan pikiran yang memang bergizi. Ia mengalirkan itu setiap kali berjumpa dengan pers, atau ketika ia mengalirkan pikirannya ke dalam tulisan berbentuk opini di koran-koran, atau dalam bentuk buku.
Dalam bentuk buku, ada pemikiran-pemikiran menarik darinya, misalnya dalam karya yang dirilis pada 1998 berlabel Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan. Selain itu, juga terdapat buku-buku bagusnya seperti Menyembuhkan Bangsa yang Sakit (1999), Ijtihad dan Terobosan: Esai-esai Reformasi (1999), atau Kearifan dalam Ketegasan: Renungan Indonesia Baru (1999).
Itu hanya beberapa judul dari banyak buku yang sudah lahir dari sosok Amien Rais. Setidaknya, buku-buku itu hampir bisa dipastikan ada di rak-rak buku para intelektual ternama. Sebab, di sanalah ia mengalirkan banyak pikirannya seputar keindonesiaan dan kemasyarakatan.Â
Ringkasnya, jika mengacu kepada pemikirannya di masa lalu, Amien Rais memang pantas dikatakan sebagai seorang tokoh yang pantas untuk dikagumi.
Sayangnya, itu hanyalah cerita masa lalu. Setelah di masa lalu pernah melejit, belakangan ini kian terkesan berbelit-belit, karena tak terlihat ketegasan jelas atas apa yang sebenarnya yang ia inginkan dan ia perjuangkan.
Jika di masa lalu pikiran-pikirannya cenderung beraroma bagaimana memastikan kesejahteraan rakyat dan membangun sebuah bangsa yang acap "dicibir" sebagai penghuni dunia ketiga, dan menghargai perbedaan, belakangan sangat bertolak belakang.
Amien dulu bukanlah Amien sekarang. Tampaknya inilah yang pantas diungkapkan tiap berbicara tentang sosok doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, tersebut.Â
Sosok yang di masa lalu terbilang inklusif dengan pandangan yang dapat dipastikan terbuka, kini lebih memilih menyempitkan ruang konsentrasi dari pikiran-pikirannya. Ia kini kian terkesan sebagai sosok yang gemar berada di ruang terbatas, melihat dengan jarak terbatas, dan tak peduli pada apa yang terjadi di luar ruang yang terjangkau oleh lingkaran terdekatnya.
Maka itu, pemikiran-pemikirannya akhir ini cenderung eksklusif, hanya tertuju untuk kebaikan satu kelompok, dan menihilkan kelompok lainnya. Ia lebih condong mengangkat satu kalangan, dan mengarahkan anak-anak panah menghancurkan kepada kalangan lainnya.